Apidi Bukit Menoreh 59; Api di Bukit Menoreh 60. Api di Bukit Menoreh 58. Ok ditunggu jilid 11nya ya bang Doel Untuk jilid 12 dst, akan kita atur pembagian tugasnya setelah itu. Secara saat ini retype saya tinggal 2 posting lagi utk menyelesaikan 10 jilid pertama. 360: PDF Document Size: 5.40 Mb: ePub Document Size: 20.76 Mb: ISBN: 767-3
♦ 15 Juli 2010 Terasa udara masih segar. Masih pula terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh berjalan di pinggir jalan, yang di siang hari dapat menjadi pelindung dari teriknya panas matahari. Tetapi di pagi hari, mereka justru merasa hangat berjalan di bawah sinarnya yang mulai menggatalkan kulit. Jalan yang mereka lalui memang bukan jalan utama yang ramai, meskipun sekali-sekali pedati yang membawa hasil bumi melintas. Tetapi pagi itu, jalan itupun nampak sepi. Bahkan sawah-sawah pun sepi. Tidak ada petani yang turun ke sawah pagi itu, karena agaknya kerja di sawah memang sudah selesai. Namun di jalan yang terasa sepi itu. Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Tiba-tiba seorang meloncat dari balik segerumbul pohon jarak kepyar dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah jalan. Langkah Glagah Putih dan Rara Wulan terhenti. Selangkah Glagah Putih bergeser maju sambil berkata, “Ki Sanak mengejutkan kami.” Orang itu tertawa. Katanya, “Aku perlu berbicara dengan kalian berdua.” “Tentang apa Ki Sanak?” “Aku terasa heran terhadap kemampuan perempuan yang disebut Genduk Miyat itu, yang semalam telah ditontoni.” Wajah Rara Wulan berkerut. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Kau siapa, Ki Sanak? Apa pula hubunganmu dengan peristiwa semalam?” “Permainan kalian sangat rapi. Kalian telah menjebak Among Asmara, sehingga Among Asmara merasa sangat terhina.” “Apakah kau mempunyai hubungan dengan Among Asmara?” “Aku gurunya.” “O,” Glagah Putih Mengangguk-angguk, “hatimu terluka oleh kekalahan Among Asmara?” “Bukankah itu wajar? Kalian telah mempermalukan muridku. Kalian telah merendahkan muridku serendah-rendahnya, sehingga ia menjadi tidak berharga di mata kawan-kawannya dan pengikutnya.” “Jika terjadi demikian, siapakah yang bersalah?” “Aku tahu, muridku bersalah. Aku sudah pernah memperingatkannya. Aku pun masih akan memperingatkannya. Tetapi kalian telah mempermalukannya keterlaluan. Seharusnya kalian tidak mempermalukan muridku seperti itu.” “Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia tidak direndahkan sampai serendah-rendahnya, maka ia tidak akan menjadi jera. Jika kau, gurunya, pernah menegurnya dan Among Asmara masih juga kembali ke sifat buruknya, apakah itu sudah sepantasnya? Apakah kau sebagai gurunya tidak merasa tersinggung dan direndahkan oleh muridmu sendiri? Lalu apakah tindakanmu terhadap muridmu itu?” “Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia masih mengulanginya, maka Among Asmara harus dihukum, la telah menyalahgunakan kemampuannya untuk tujuan yang buruk, yang justru akan memperburuk citra perguruannya.” “Jadi, apa maksudmu sekarang? Bukankah yang aku lakukan sejalan dengan keinginanmu itu Ki Sanak?” “Tetapi Among Asmara berada di dalam bingkai perguruanku. Aku gurunya, yang wenang mengajarinya atau menghukumnya. Bukan orang lain. Apalagi yang kau lakukan bukan sekedar menghukum Among Asmara, tetapi kau sudah merendahkan ilmunya. Kau sudah meremehkan perguruannya. Sedangkan pemimpin dari perguruan itu adalah aku.” “Tetapi yang dilakukan Among Asmara justru di luar perguruannya. Ia sudah merugikan orang lain. Bahkan yang dilakukan adalah kesalahan yang mendasar sekali. Dengan paksa mengambil seorang perempuan untuk dijadikan istrinya Bukankah itu merupakan satu perbuatan yang sangat nista, justru dengan mengandalkan ilmunya? Ilmu yang diajarkan di perguruannya? Ilmu yang diajarkan oleh gurunya?” “Tetapi perguruanku tidak mengajarkan sifat yang nampak pada kelakuan Among Asmara. Justru karena itu aku harus menghukumnya. Tetapi aku tidak mau ada orang lain yang memandang rendah pada perguruanku. Seolah ilmu yang aku ajarkan itu tidak berarti apa-apa, sehingga Among Asmara justru dipermainkan oleh seorang perempuan. Aku tidak akan merasa tersinggung seandainya kau hukum Among Asmara tanpa mempermainkannya. Yang aku lakukan bukan pelepasan dendam karena kekalahan muridku, tetapi karena harga diri perguruanku sudah kau remehkan. Kau anggap ilmu yang dimiliki oleh Among Asmara itu tidak berarti sama sekali, sehingga kau telah mengalahkannya dengan cara yang sangat menyakitkan. Kau biarkan Among Asmara kehabisan nafas sehingga tidak mampu berbuat apa-apa lagi.” “Maaf Ki Sanak,” sahut Rara Wulan, “aku tidak bermaksud meremehkan ilmunya. Aku tidak bermaksud merendahkannya. Maksudku semata-mata untuk membuatnya jera.” “Itu yang kau katakan kepadaku sekarang,” berkata orang itu, “tetapi aku tidak yakin, bahwa itulah yang kau lakukan semalam.” “Ki Sanak. Itulah yang ingin aku lakukan.” “Aku tidak mempercayaimu.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat memberikan penjelasan lebih banyak lagi. Aku tidak dapat memaksamu percaya.” “Nah, sekarang aku datang untuk memperbaiki citra perguruan. Aku. ingin menunjukkan kepadamu, bahwa puncak ilmu di perguruanku tidak lebih rendah dari puncak ilmumu.” “Jadi, apa maksudmu, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih. “Aku ingin menakar ilmu dengan kalian. Siapapun yang akan bersedia membuat perbandingan ilmu itu.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah itu perlu, Ki Sanak?” “Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa perguruanku tidak seburuk yang kalian sangka.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Baiklah, Ki Sanak, jika itu yang kau kehendaki. Jika dengan demikian kau mendapat kepuasan dan merasa tidak direndahkan lagi.” “Tetapi aku muak dengan kesombonganmu. Kau tidak perlu mengalah untuk mendapat pujian, bahwa kau adalah seorang yang baik hati, berbudi luhur, menghindari perselisihan dan puji-pujian cengeng yang lain, karena kau dapat memberikan kepuasan kepadaku. Jika itu kau lakukan, kau sama sekali bukan orang yang baik hati, orang yang berbudi luhur, berkorban untuk orang lain atau sebutan-sebutan yang lain. Karena jika kau mengalah, itu sebenarnya tidak lebih dari satu sikap sombong yang sangat berlebihan saja.” “Baik.” “Jika demikian, kita akan mencari tempat terbaik. Tidak di jalan ini.” “Di mana?” “Di tikungan sungai itu. Di sebelah pohon besar itu. Kita tidak akan merasa terganggu oleh siapapun, karena tempat itu jarang sekali dikunjungi orang.” “Baiklah. Aku akan menuruti maumu.” Orang itu pun kemudian melangkah mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan meloncati parit dan berjalan menyusuri pematang. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergerak mengikuti mereka. Namun Rara Wulan sempat berdesis, “Apakah orang itu tidak akan menjebak kita, Kakang? Ia merasa bahwa muridnya telah kita jebak semalam, sehingga ia pun membalas dengan menjebak kita.” “Jika orang itu menjebak kita, kita akan mempergunakan segenap kemampuan kita untuk melindungi diri kita. Kita tidak mau menjadi pengewan-ewan, dipermalukan atau bahkan kita akan dibunuh beramai-ramai. Tetapi sebaiknya kita tidak berprasangka buruk.” “Ya, Kakang.” Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan di sepanjang pematang menuju ke sebatang pohon raksasa yang agaknya tumbuh di pinggir sungai. Beberapa langkah di hadapan mereka, orang yang mengaku guru Among Asmara itu telah meloncat dari tanggul sungai, turun ke tepian yang berpasir dan berbatu-batu yang menebar di mana mana. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak di atas tanggul. Ditebarkannya pandangan mereka kemana-mana. Sepanjang tepian, dan bahkan ke sela-sela semak-semak di seberang sungai. Namun mereka tidak melihat seorangpun. Orang yang mengaku guru Among Asmara, yang sudah berdiri di tepian itu, agaknya dapat membaca kecurigaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, “Jangan menganggap bahwa aku licik seperti kalian yang telah menjebak muridku. Aku tidak akan menjebakmu. Aku memang mengundang dua orang saudara seperguruanku, tetapi tidak untuk melibatkan diri. Mereka akan menjadi saksi, apakah ilmu dari perguruan kami sedemikian rendahnya, sehingga harus dihinakan oleh sepasang pengembara seperti kalian berdua.” Tiba-tiba saja orang itu bertepuk tangan. Glagah Putih dan Rara Wulan memang agak terkejut ketika mereka melihat dua orang yang meluncur dari dahan pohon raksasa itu dan kemudian berdiri tegak di tepian. Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak memperhatikan pohon raksasa itu. Mereka tidak mengira bahwa dua orang dengan susah payah memanjat pohon itu dan bersembunyi di balik rimbun daunnya yang kecil-kecil seperti daun preh. “Nah, marilah. Turunlah. Kita seharusnya berkenalan lebih dahulu.” Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian turun dari atas tanggul dengan hati-hati. Nampaknya tebing tanggul yang rendah itu memang agak licin. “Kau lihat,” berkata guru Among Asmara kepada kedua orang yang datang kemudian, “bukankah mereka anak-anak yang sangat sombong? Kenapa mereka harus menuruni tanggul itu dengan hati-hati, bahkan berpegangan pohon-pohon perdu? Kenapa mereka tidak meloncat saja langsung ke tepian?” Seorang di antara mereka menjawab, “Ya. Aku yakin sekarang. Keduanya memang sangat sombong. Ketika kau berbicara tentang kesombongan mereka, aku masih ragu-ragu untuk mempercayainya. Tetapi sekarang, aku sudah meyakininya.” Glagah Putih dan Rara Wulan memang tertegun sejenak mendengar pembicaraan yang dengan sengaja diucapkan dengan keras itu. Tetapi mereka tetap saja menuruni tebing itu sambil berpegangan batang-batang perdu yang tumbuh di tebing yang rendah itu. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berdiri di tepian. Rara Wulan masih menggendong peti kecil dengan selendangnya. “Nah, di hadapan para saksi, kita akan mengukur kemampuan kita,” berkata guru Among Asmara itu. “Tetapi sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri kami. Namaku Ki Narasembada. Saudara seperguruanku yang tinggi ini bernama Ki Tenaya Siji, dan yang satunya kurus kering itu kita sebut Ki Wreksa Aking.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat. Namun mereka juga agak heran, bahwa ternyata orang berilmu tinggi itu bertebaran di mana-mana. Dengan nada rendah Glagah Putih pun berkata, “Ki Narasembada tentu sudah tahu namaku. Namaku Wiguna, dan ini istriku. Namanya Miyat.” Orang yang bertubuh tinggi itu pun menyahut, “Nama yang bagus. Kalian pantas mengenakan nama itu.” “Sayang sekali, kalian terlalu sombong,” berkata orang yang bertubuh kurus. “Kami sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Kami berbuat wajar-wajar saja menurut perasaan kami. Tetapi jika itu kalian anggap sebagai satu sikap yang sombong, terserah saja kepada kalian.” “Kau sama sekali tidak berbuat dengan wajar,” sahut orang yang bertubuh kurus. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi semuanya itu terserah kepada kalian berdua. Kalau kalian merasa mapan dengan tingkah laku kalian, lakukan saja. Kami tidak berhak untuk merubahnya.” “Aku setuju,” sahut Ki Narasembada, “yang penting sekarang adalah membuktikan bahwa kau tidak dapat menghina perguruan kami.” “Bukankah yang dimaksud Ki Narasembada adalah aku, Kakang?” berkata Rara Wulan. “Biarlah kali ini aku yang melayaninya.” Rara Wulan tidak memaksa. Ia sadar bahwa Glagah Putih tidak dapat melepaskannya menghadapi orang yang nampaknya memang berbahaya itu. Ki Narasembada tentu memiliki kelebihan dalam segala hal dari muridnya, Among Asmara. “Bagus,” berkata Ki Narasembada, “aku kira kalian masih juga akan menyombongkan diri dengan menghadapkan perempuan itu dalam pertarungan ini.” “Jika itu yang kau kehendaki?” tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut. “Biarlah aku saja yang menghadapi Ki Narasembada.” Ki Narasembada itu pun kemudian berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya sambil berkata, “Kalian akan menjadi saksi bahwa perguruan kita bukan perguruan tataran bawah. Bahwa perguruan kita memiliki landasan ilmu yang tinggi, sehingga tidak seharusnya dihinakan sebagaimana diperlakukan atas Among Asmara.” “Baik, Kakang,” jawab Ki Tenaya Siji, “kami akan menjadi saksi bahwa perguruan kita adalah salah satu dari perguruan yang terbaik.” Ki Narasembada itu pun kemudian berkata, “Bersiaplah, Wiguna. Kita akan segera mulai.” Glagah Putih pun telah mempersiapkan dirinya pula. Kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Miyat, perhatikan apa yang akan terjadi di sini. Kau telah membuktikan bahwa Among Asmara bukan apa-apa bagimu. Sekarang aku juga akan membuktikan, bahwa perguruan yang dipimpin oleh Ki Narasembada tidak akan mendapat menyamai tataran perguruan kita. Apalagi jika Guru kita sendiri yang hadir di sini. Maka Ki Narasembada harus mengakui tujuh kali, bahwa perguruannya tidak dapat diperbandingkan dengan perguruan kita.” “Persetan kau, orang yang sangat sombong. Kau akan kami permalukan di sini. Meskipun tidak di hadapan banyak orang, tetapi kau harus malu kepada dirimu sendiri. Bahkan aku berharap bahwa gurumu akan bersedia datang. Jika tidak hari ini. maka kapan saja ia akan datang, aku akan menerimanya dengan senang hati.” “Apakah dengan demikian hanya kami-lah yang dapat disebut sangat sombong?” “Cukup!” Glagah Putih terdiam. Namun ia justru bergeser selangkah maju mendekati Ki Narasembada dengan tenangnya. Melihat sikap Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu, jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguaruannya pun terasa berdebar. Sikap itu menunjukkan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Wiguna itu masih sangat muda di mata Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruannya. Karena itu, seberapapun tinggi ilmunya, namun pengalamannya tentu belum begitu luas. Wawasannya masih sangat terbatas, sehingga kemenangannya atas Among Asmara telah membuatnya semakin sombong. Sikapnya bukan karena keyakinannya serta percaya diri yang tinggi, tetapi semata-mata karena kesombongannya, sehingga sulit baginya untuk menghargai orang lain. “Aku harus membuatnya jera. Ia harus mengakui bahwa di luar diri mereka berdua, terdapat ilmu yang lebih tinggi.” Dalam pada itu, Glagah Putih justru menyesuaikan diri dengan anggapan Ki Narasembada. Sebagai seorang yang sangat sombong, maka Glagah Putih telah membuka serangannya. Dengan derasnya Glagah Putih meloncat menyerang dengan kakinya. Namun serangan itu sama sekali tidak menyentuh lawannya. Ki Narasembada dengan gerak yang sangat sederhana telah menghindarinya. Namun serangan Glagah Putih itu justru membuat Ki Narasembada menjadi ragu-ragu. Jika laki-laki muda itu memiliki ilmu setingkat saja dengan perempuan yang mengembara bersamanya itu, maka ia tidak akan meyerang dengan serangan yang sangat sederhana itu. Karena itu, Ki Narasembada justru menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak segera membalas menyerang, tetapi diperhatikannya sikap laki-laki muda yang menyebut dirinya Wiguna itu dengan sungguh-sungguh. Namun penggraita Glagah Putih pun cukup tajam pula. Ia pun segera merasakan sikap Ki Narasembada sebagai satu sikap yang sangat berhati-hati. Karena itu, ketika Glagah Putih pun kemudian menyerang pula, maka serangannya benar-benar menjadi sangat berbahaya. Dengan demikian, maka pertempuran pun segera meningkat menjadi semakin bersungguh-sungguh. Keduanya pun dengan cepat meningkatkan ilmu mereka. Ki Narasembada mengukur kemampuan Glagah Putih dengan kemampuan Rara Wulan yang telah dilihatnya dengan diam-diam, pada saat Rara Wulan mengalahkan Among Namun Ki Narasembada sengaja tidak melibatkan diri untuk menjaga kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi. Bukan saja atas muridnya, tetapi juga atas dirinya sendiri. Selain atas dasar pertimbangan itu, Ki Narasembada pun membiarkan Among Asmara mendapat pelajaran dari kenyataan yang dihadapinya. Beberapa saat kemudian, pertempuran di tepian itu menjadi semakin sengit. Ki Narasembada telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia sadar sepenuhnya bahwa laki-laki yang masih muda itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Namun Glagah Putih pun dengan cepat pula meningkatkan ilmunya pula. Seperti Rara Wulan, maka Glagah Putih seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengenali kemampuan ilmunya sendiri, setelah ia menjalani laku bersama-sama dengan istrinya di hutan yang lebat, di kaki Gunung Merapi. Glagah Putih memang menemukan banyak hal yang terasa baru di dalam dirinya. Tenaganya yang semakin kuat, tubuhnya yang seakan-akan bertambah ringan, kecepatannya bergerak, serta yang kemudian dikenalinya pula daya tahannya yang semakin tinggi, serta tenaga dalamnya yang bertambah besar. Glagah Putih pun berusaha mengenali pula kendali atas tenaga dan kemampuannya, sehingga Glagah Putih dapat mengaturnya sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, maka kemampuan dan ilmunya benar-benar tunduk sepenuhnya atas kehendak dan kendali nalar budinya. Dalam pada itu, pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Narasembada yang memang berilmu tinggi itu meningkatkan ilmunya pula semakin tinggi. Namun Glagah Putih masih saja mampu mengimbanginya. Namun menghadapi Ki Narasembada, Glagah Putih tidak dapat memperlakukannya sebagaimana Rara Wulan memperlakukan Among Asmara. Ki Narasembada benar-benar seorang yang sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Justru mereka yang tidak langsung berada di arena mampu melihat lebih tajam benturan ilmu yang semakin tinggi dari keduanya. Kedua orang itu semakin lama menjadi semakin heran melihat betapa ringannya Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu berloncatan. Tubuhnya seakan-akan sama sekali tidak mempunyai bobot yang membebaninya. Selain keringanan tubuh Glagah Putih, maka keduanya juga melihat, betapa serangan-serangan Ki Narasembada yang mengenai tubuh Glagah Putih sama sekali tidak menggetarkannya. Bahkan ketika terjadi benturan kekuatan, maka yang tergeser surut adalah Ki Narasembada. Sebenarnyalah Ki Narasembada sendiri mulai merasakan kelebihan Glagah Putih. Demikian cepatnya laki-laki muda itu bergerak, sehingga kadang-kadang Ki Narasembada tidak sempat Serangan-serangan Glagah Putih-lah yang lebih sering mengenainya. Bahkan semakin lama semakin menyakitinya. Ketika kaki Glagah Putih yang terayun mendatar bersamaan dengan tubuhnya yang berputar mengenai keningnya, maka terasa sesaat matanya menjadi kabur. Namun ketika serangan yang sama untuk kedua kalinya menyambarnya, Ki Narasembada sempat menghindar dengan merendahkan diri. Bahkan dengan cepat kakinya menyapu kaki Glagah Putih yang kemudian menyentuh tanah. Tetapi dengan kecepatan yang sangat tinggi, Glagah Putih sempat melenting. Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang menapak di tanah, maka sekali Glagah Putih berputar di udara. Dengan lembutnya, kedua kakinya pun kemudian menapak di atas tanah. Pada saat yang bersamaan, dengan menghentakkan kemampuannya, Ki Narasembada telah meloncat dengan menjulurkan kakinya mengarah ke punggung Glagah Putih yang membelakanginya. Namun dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, Glagah Putih telah berbalik sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Demikian kedua kaki Ki Narasembada membentur kedua tangannya yang bersilang, Glagah Putih telah menghentakkannya. Benturan yang keras telah terjadi. Glagah Putih tergetar selangkah surut. Namun Ki Narasembada seakan-akan telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di pasir tepian. Hampir saja tubuhnya menimpa sebuah batu yang besar. Ki Narasembada harus menahan sakit di punggungnya. Meskipun Ki Narasembada itu dengan cepat bangkit, namun terasa punggungnya menjadi sangat sakit. Seakan-akan tulang belakangnya telah menjadi retak. Namun Ki Narasembada masih memiliki ilmu puncaknya. Karena itu, ketika ia telah berdiri tegak, maka ia pun berkata, “Kau memang luar biasa, Wiguna. Ilmumu ternyata lebih lengkap dari ilmuku.” Glagah Putih tertegun. Namun ia pun kemudian menjawab, “Jangan menyanjung, Ki Narasembada. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu pamungkas yang sangat dahsyat. Ilmu itu masih belum begitu nampak jelas pada Among Asmara. Dan bahkan nampaknya ia masih agak merasa gagap mengetrapkannya. Tetapi kau tentu berbeda.” “Ya. Aku menguasai kuasa panasnya api di dalam diriku. Aku akan dapat melontarkannya dan membakar tubuhmu menjadi abu. Jika kekuatan ini tidak nampak atau belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh Among Asmara, maka aku, gurunya, tentu memiliki kelebihan daripada muridku itu.” “Aku tahu, Ki Narasembada. Tetapi jika aku berani menghadapimu sekarang, aku tentu mempunyai ilmu andalan yang akan dapat meredam panas apimu itu. Jika ilmu kita berbenturan, maka aku tidak tahu apa yang akan terjadi, karena kita belum tahu ukuran kemampuan kita masing-masing. Sementara itu, bukankah semula kita tidak berniat benar-benar saling menghancurkan?” “Apakah kau menjadi ketakutan?” “Ya. Aku memang menjadi ketakutan kalau kau tidak mampu menahan deraan ilmuku. Seandainya ilmu kita berbenturan, maka ilmu yang lebih lemah akan memantul dan menyakiti diri sendiri, ditambah oleh dorongan ilmu yang lebih kuat.” “Kau memang sombong sekali, Wiguna.” “Tetapi aku tidak berniat menyombongkan diri.” “Apapun yang terjadi. Kau tidak dapat terus-menerus menghina ilmu puncak dari perguruanku. Bahkan seandainya salah seorang di antara kita harus mati.” “Kita dapat mencapai tujuan tanpa membahayakan jiwa kita masing-masing.” “Apa yang harus kita lakukan, menurut gagasanmu?” “Di sana ada tebing berbatu padas. Kita akan mempergunakannya sebagai sasaran serangan berlandaskan pada ilmu puncak kita masing-masing. Kita akan dapat menilai, ilmu siapakah yang lebih baik di antara kita.” Ki Narasembada termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya, maka keduanya pun mengangguk hampir bersamaan. Agaknya keduanya sependapat dengan laki-laki muda yang dikenalnya bernama Wiguna itu. “Baik,” berkata Ki Narasembada kemudian, “kita akan melepaskan serangan kita terhadap tebing di seberang sungai kecil ini. Berdasarkan hasilnya, maka yang kalah harus mengaku kalah. Jika kau kalah, Wiguna, kau harus mengerti bahwa kemampuan Among Asmara bukan ukuran tingkat kemampuan puncak perguruan kami.” “Ya,” jawab Glagah Putih, “jika aku kalah, aku akan mengakui kelebihan perguruan Ki Narasembada. Tetapi sebaliknya, Ki Narasembada juga harus mengakui kenyataan yang terjadi.” Dengan kesepakatan itu, maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri di tepi sungai kecil itu menghadap ke tebing berbatu padas di seberang. “Silahkan.” Ki Narasembada pun segera mempersiapkan diri. Ia mengarahkan serangannya kepada segerumbul pohon perdu yang tumbuh di tebing seberang yang berbatu padas. Sejenak Ki Narasembada memusatkan nalar budinya untuk mempersiapkan ilmu puncaknya. Kedua orang saudara seperguruanya pun menjadi tegang pula. Di perguruan mereka, mereka mengakui bahwa Ki Narasembada adalah orang yang memiliki tingkat ilmu tertinggi, sehingga ia telah mewarisi kedudukan tertinggi di perguruannya. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Mereka tidak mengetahui sejauh manakah kemampuan ilmu puncak Ki Narasembada. Sesaat kemudian, maka Ki Narasembada pun telah sampai pada puncak kemampuannya. Terdengar Ki Narasembada berteriak nyaring. Kedua tangannya terjulur ke depan, dengan telapak tangannya terbuka menghadap ke segerumbul semak yang berada di tebing berbatu padas di seberang. Seleret sinar telah memancar dari kedua telapak tangan Ki Narasembada. Begitu cepatnya menyambar gerumbul liar di tebing seberang. Tiba-tiba saja, lidah api seakan-akan telah menjilat gerumbul-gerumbul liar itu. Dalam sekejap gerumbul liar itu pun telah menjadi hangus. Sementara itu, tebing berbatu padas itu pun menjadi retak-retak, sehingga beberapa gumpal batu padas pun runtuh jatuh ke tepian berpasir. Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada menarik nafas panjang. Ki Narasembada memang orang yang terbaik di dalam olah kanuragan daripada yang lain. Ki Narasembada masih dapat membuktikan kelebihannya untuk menjaga harga diri perguruannya. Di seberang, bukan saja gerumbul liar itu menjadi hangus bagaikan dijilat lidah api yang panasnya melampaui panasnya bara kayu mlandingan. Ki Narasembada pun kemudian menghela nafas panjang. Kemudian ia pun bergeser setapak surut sambil berkata, “Sekarang giliranmu, Wiguna. Aku ingin tahu apakah kau mampu melakukannya. Bahkan seandainya kau sentuh tebing itu dengan unsur kewadaganmu.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku akan menyerangnya dari sini, Ki Narasembada. Aku juga tidak akan mempergunakan sentuhan kewadagan.” “Bagus. Lakukan. Jika kau dapat melukai tebing itu lebih parah lagi, aku akan menundukkan kepalaku di hadapanmu.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu. Diamatinya gerumbul perdu yang telah hangus menjadi arang. Daun-daunnya telah rontok menjadi debu. Glagah Putih tidak mau gagal. Glagah Putih tidak ingin dipermalukan oleh Ki Narasembada. Karena itu, maka Glagah Putih telah memusatkan nalar budinya, menggugah ilmunya pada tataran tertinggi. Sejenak Glagah Putih berdiri tegak. Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang. Tetapi Glagah Putih tidak memiliki kemampuan sebagaimana Agung Sedayu, menyerang dengan sorot matanya yang memancarkan ilmunya. Tetapi Glagah Putih tidak saja berlandaskan ilmu yang telah dimilikinya pada saat ia berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setelah ia menjalani laku, maka segala-galanya telah menjadi semakin meningkat. Karena itu, dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah menyentuh bagian atas dada kirinya dengan ujung jari tangan kanannya, serta menyentuh bagian atas dada kanannya dengan dua jari tangan kirinya, sehingga kedua tangannya bersilang. Kemudian dijulurkannya tangannya lurus ke depan. Tetapi telapak tangannya tidak lagi menghadap ke arah sasarannya. Kedua telapak tangannya yang terbuka justru menelungkup. Ketegangan telah mencengkam tepian itu. Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya berdiri mematung. Jantung mereka menjadi berdebaran melihat sikap Glagah Putih. Bahkan ketika mereka melihat cahaya samar kebiruan pada saat jari-jari tangan Glagah Putih yang bersilang menyentuh bagian atas dadanya. Bersamaan dengan terjulurnya tangan Glagah Putih, maka seakan-akan dari kesepuluh jari-jarinya telah meluncur butir-butir cahaya yang kebiru-biruan, sebagaimana nampak pada saat kedua tangan Glagah Putih bersilang dan menyentuh bagian atas dadanya itu. Sesaat kemudian, terdengar gemuruh. Butir-butir cahaya yang meluncur dari jari-jari tangan Glagah Putih itu seakan-akan telah meledak dan meruntuhkan tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu. Batu-batu padas yang pecah bukan saja berguguran, tetapi pecahan-pecahan batu padas itu terlempar ke segala arah dan berhamburan jatuh di tepian. Jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya itu pun terguncang. Mereka tidak mengira, bahwa kemampuan ilmu laki-laki yang masih terhitung muda itu demikian besarnya, sehingga sulit untuk dicari bandingnya. Gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di tebing berbatu padas itu tidak saja menjadi hangus, tetapi tercerabut sampai ke akarnya dan lumat menjadi debu, yang kemudian diterbangkan angin. Glagah Putih kemudian menelengkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya. Sesaat kedua tangannya itu bergerak menurun, dan kemudian tergantung di sisi tubuhnya yang masih berdiri tegak. Glagah Putih justru terkejut ketika Ki Narasembada, yang kemudian diikuti oleh kedua saudara seperguruannya, berdiri di hadapan Glagah Putih sambil membungkuk hormat. Dengan nada berat Ki Narasembada pun berkata, “Aku harus mengakui dengan jujur, bahwa kau berada di tataran yang jauh lebih tinggi dari tataran ilmuku. Ilmu tertinggi di perguruanku.” “Sudahlah.” Glagah Putih pun kemudian menggapai bahu Ki Narasembada sambil mengangkatnya. “Berdiri tegaklah. Tidak ada yang harus disanjung lagi.” “Kami tidak dapat ingkar dari kenyataan yang kami hadapi.” “Baiklah. Tetapi sudahlah. Lupakan saja semuanya yang telah terjadi.” “Jika saja kau tidak mempunyai gagasan untuk membuat perbandingan ilmu dengan mempergunakan tebing di seberang sebagai sasaran, maka aku tentu sudah lumat oleh kemampuan ilmumu.” “Sekali lagi aku katakan kepada Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruanmu, bahwa aku sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi aku sekedar menyatakan kekecewaanku, bahwa salah seorang murid di perguruanmu, dan bahkan mungkin dengan satu dua saudara seperguruannya, telah menyalahgunakan kemampuan yang dimilikinya. Sementara itu, para pemimpin di perguruan itu gagal mencegahnya. Atau bahkan mungkin tidak bertindak apa-apa sama sekali.” “Kami tidak akan ingkar, bahwa kami-lah yang harus bertanggung jawab,” sahut Ki Narasembada. “Kami akan menertibkan murid-murid kami dengan cara yang lebih baik lagi.” “Hati-hatilah dengan Among Asmara. Jika ia mendendam terhadap Ki Bekel dan anaknya yang semalam ditontoni, Ki Narasembada-lah yang harus bertanggung jawab.” “Ya. Aku akan bertanggung jawab.” “Kenapa orang itu harus berganti nama? Bukankah namanya sendiri yang diterimanya dari orang tuanya sudah cukup baik?” “Ya. Ia akan kembali kepada namanya sendiri.” “Nah, apakah sekarang masih ada persoalan yang menggelitik Ki Narasembada? Mumpung aku masih ada di sini.” “Aku akan mengucapkan terima kasih kepada Genduk Miyat yang telah dapat menahan diri terhadap muridku, Among Asmara.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Ki Narasembada?” “Genduk Miyat tidak membunuhnya. Seandainya saat itu dilakukannya, aku tentu akan berusaha menyelamatkannya. Nah, keterlibatanku malam itu akan dapat membunuhku pula.” “Tetapi bukankah perlakuan Miyat terhadap Among Asmara itu yang membuat Ki Narasembada menemui kami sekarang ini?” “Karena ketidaktahuanku. Karena itu, aku minta maaf, sekaligus mengucapkan terima kasih.” “Baiklah. Kita tidak akan mempersoalkannya lebih panjang lagi. Tetapi tolong, kendalikan Among Asmara.” “Aku berjanji.” “Terima kasih.” Dengan demikian, maka Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya pun minta diri. Ketika mereka akan meninggalkan tepian, Ki Narasembada berkata, “Aku persilahkan Ki Sanak berdua singgah di padepokan kecilku. Kami tinggal di pinggir sungai kecil ini, beberapa ratus patok ke arah udik. Sungai kecil ini akan melingkari sebuah gumuk kecil di kaki Gunung Merapi. Kami tinggal di gumuk kecil itu.” “Terima kasih. Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami dapat singgah. Apakah Among Asmara juga berada di padepokan itu?” “Tidak. Ia sudah tidak tinggal di padepokan. Tetapi ia tinggal di rumahnya.” “Itulah sebabnya pengawasan Ki Narasembada tidak cukup ketat terhadap murid yang sudah terlanjur mewarisi ilmu yang cukup tinggi.” “Itu salah kami. Kami akan memperbaiki kesalahan itu.” Ketiga orang itu pun kemudian menaiki tebing di seberang, di sebelah tebing yang runtuh, dan berjalan menyusuri tanggul ke arah udik. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian justru duduk di sebuah batu yang besar, di bawah sebatang pohon yang rimbun yang tumbuh di tanggul sungai kecil itu. “Ternyata mereka orang-orang yang jujur,” desis Glagah Putih. “Ya,” sahut Rara Wulan. “Sikapnya wajar.” “Agaknya Ki Narasembada benar-benar akan mengawasi muridnya, khususnya Among Asmara.” “Ya. Aku bahkan yakin, bahwa Ki Narasembada akan memberikan peringatan yang keras terhadap Among Asmara dan saudara-saudara seperguruannya yang mendukung sikap dan tindakannya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Rara. Permainanku hari ini justru menyadarkan kepadaku, bahwa aku dan tentu juga kau telah memikul tanggung jawab yang sangat berat.” “Maksud Kakang?” “Ilmu kita sudah meningkat semakin tinggi. Sementara itu, apakah kita yakin bahwa kita pada suatu saat tidak tergoda oleh kemampuan kita, sehingga kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang sombong dan terjerumus ke dalam tingkah laku yang keluar dari jalan yang seharusnya?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah sebabnya, Kakang, orang-orang tua selalu memberikan pesan agar kita tidak pernah terlepas dari kesadaran kita tentang diri kita sendiri.” “Itulah yang sulit.” “Kita harus berusaha, Kakang. Kita akan saling mengingatkan. Kita akan saling membantu dalam kelemahan jiwani yang memang mungkin datang mencengkam kita.” “Kita memang harus berjuang dan memohon kepada Yang Maha Agung, sumber dari segala sumber Kuasa di segala ruang dan waktu. Semoga kurnia-Nya tetap berada dalam kendali-Nya. Sehingga kita, peraganya, tidak berjalan sendiri menurut kemauan kita semata-mata.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Pernyataan Glagah Putih adalah satu pengakuan akan kelemahan jiwa seseorang yang mudah tergoda oleh gebyar kehidupan keduniawian. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri, merenungi jalan kehidupan yang akan mereka lalui dengan bekal yang meyakinkan di dalam olah kanuragan. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun berkata, “Rara. Apakah kita perlu memberikan sebutan atas ilmu kanuragan yang kita sandang sekarang ini?” “Nama?” “Bukankah ilmuku dan ilmumu telah lebur? Kau tidak dapat lagi menyebut ilmumu dengan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Aku juga tidak akan dapat menyebut lagi Aji Sigar Bumi, serta ilmuku yang lain yang tidak mempunyai sebutan apa-apa. Meskipun kau masih tetap memiliki Aji Pacar Wutah yang masih dapat kau terapkan jika kau kehendaki, demikian pula aku, tetapi dalam puncak kemampuan kita, kita memerlukan sebutan yang pantas. Di dalam kitab itu tidak ada petunjuk apa-apa tentang sebutan atas ilmu yang tercantum di dalamnya. Bukan sekedar tulisan yang tidak berarti apa-apa. Tetapi setelah kita jalani laku, maka apa yang tertulis di dalam kitab itu telah ternyata dalam diri kita.” “Kakang akan memberi sebutan pada puncak ilmu kita?” “Kalau mungkin, apa salahnya?” “Aku sependapat, Kakang.” “Nah, sekarang kita akan mencari nama itu.” Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas. Kemudian dipandanginya tebing berbatu padas yang berguguran. Rara Wulan sendiri juga mampu melakukannya, meskipun mungkin masih selapis di bawah kemampuan Glagah Putih. Namun apa yang dapat dilakukan oleh Rara Wulan, telah melampaui kemampuan ilmunya Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. “Sebutan apa yang akan Kakang pergunakan?” “Berbeda dengan sebutan ilmu yang pernah kita dengar. Kita tidak perlu mempergunakan sebutan yang mengesankan kekerasan. Bukankah ada sisi yang lembut dari ilmu yang telah kita warisi lewat kitab itu?” “Ya, Kakang.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Kemudian ia pun merenungi beberapa kata yang pantas untuk menyebut ilmunya. Namun akhirnya Glagah Putih itu pun menggeleng sambil berdesis, “Aku tidak menemukan nama yang mapan untuk ilmu kita.” “Jadi?” “Bagaimana jika kita sebut saja dengan Aji Namaskara?” “Aji Namaskara,” ulang Rara Wulan. “Bagaimana menurut pendapatmu?” “Baik, Kakang. Ilmu itu akan selalu mengingatkan kita kepada Ki Namaskara. Orang yang langsung atau tidak langsung telah mewariskan ilmu itu kepada kita. Karena Ki Namaskara mewariskan ilmu itu tanpa nama, maka kita sebut saja Aji Namaskara. Seandainya nama itu masih terdengar agak janggal, semakin lama akan semakin terbiasa bagi telinga kita. Bukankah nama itu hanya akan disebut-sebut di antara kita saja?” “Ya.” “Nah, baiklah. Sejak sekarang kita sebut ilmu puncak kita itu dengan Aji Namaskara.” Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aji Namaskara.” Keduanya pun kemudian sejenak termenung. Agaknya mereka sedang merenungi nama yang baru saja mereka ucapkan, untuk menyebut ilmu puncak yang mereka kuasai setelah menjalani laku yang berat di dalam hutan di kaki Gunung Merapi. Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Sekarang kita akan melanjutkan perjalanan kita.” “Marilah, Kakang,” sahut Rara Wulan sambil bangkit berdiri. Keduanya pun kemudian meninggalkan tepian itu. Mereka menaiki tebing yang tidak terlalu tinggi. Mereka pun berjalan beberapa saat menyusuri tanggul. “Kita akan kembali ke jalan yang kita lalui tadi,” berkata Glagah Putih. “Ya, Kakang,” jawab Rara Wulan, sambil melangkahi parit yang membujur di sepanjang kotak-kotak sawah. Selanjutnya keduanya pun berjalan meniti pematang di antara tanaman yang nampak hijau. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melangkahi parit lagi dan turun ke jalan yang tadi mereka lewati. Ternyata jalan yang mereka lewati memang jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang. Mereka tidak terlalu sering berpapasan dengan seseorang. Tidak pula ada orang yang jalan seiring dengan mereka. “Jalan ini terasa terlalu sepi,” berkata Rara Wulan kemudian. “Ya. Padahal di depan terdapat beberapa padukuhan yang cukup besar. Sawahnya pun nampak subur terbentang sampai ke batas hutan yang membujur di cakrawala.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Mungkin kerja di sawah telah selesai. Tanaman tumbuh dengan subur. Para petani tinggal menunggu padi yang telah bunting itu berbuah dan menjadi kuning. Kemudian memetiknya dan membawanya ke lumbung.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Pada saat padi bunting justru para petani menjadi tegang. Kadang-kadang jika nasib buruk, justru hama datang menyerang. Hama walang sangit dapat datang setiap saat menghisap biji yang masih agak cair, sehingga ketika padi itu berbuah, maka butir-butirnya telah kosong. Yang ada hanyalah kulitnya yang tegak mencuat dari batangnya. Namun padi yang kosong, yang nampaknya menengadah itu, sama sekali tidak memberikan apa apa kepada para petani yang menanam dan memelihara dengan tekun sebelumnya. Namun jika nasib baik, maka padi itu akan menghasilkan buah yang berisi. Namun justru semakin berisi, maka buah padi itu akan nampak semakin merunduk. Buah padi yang merunduk itu adalah buah padi yang seolah-olah tahu membalas budi kepada para petani yang menanam dan memeliharanya dengan tekun. Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan yang panjang menuju ke sebuah padukuhan yang terhitung besar. Sementara itu, matahari telah mulai bergerak menurun. Sambil menengadahkan wajahnya Rara Wulan pun berkata, “Ternyata kita cukup lama berada di tepian.” “Ya,” Glagah Putih mengangguk, “kita telah kehilangan banyak waktu. Jika saja kita berjalan terus, maka kita tentu sudah melampaui beberapa bulak panjang dan beberapa padukuhan.” “Tetapi bukankah kita tidak berada dalam batasan waktu? Ternyata permainan Kakang di tepian ada juga artinya.” “Maksudmu?” Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Kita sempat memberi nama terhadap ilmu puncak kita.” “Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk. “Selain itu kita pun semakin mengenali diri kita dan semakin mencemaskan ketahanan jiwa kita terhadap godaan duniawi.” “Bukankah dengan demikian kita dapat lebih mengenali pula sisi-sisi kehidupan kita? Yang gelap, yang suram dan yang terang?” “Ya. Satu dorongan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ingat di setiap saat akan keberadaan-Nya dan Kuasa-Nya.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Keduanya telah melintasi padukuhan yang cukup besar yang membujur sepanjang jalan yang mereka lalui. Mereka berjalan lewat di depan bangunan yang cukup besar. Banjar padukuhan itu. Namun padukuhan itu tidak terlalu ramai. Halaman-halaman rumah yang luas menjadikan jarak antara tetangga menjadi jauh. Tanah yang tidak rata, gumuk-gumuk kecil yang ada di padukuhan itu agaknya telah membuat jarak antara seseorang dan orang yang lain. “Gumuk-gumuk kecil itu dapat longsor jika hujan lebat turun,” desis Rara Wulan. “Ya. Tetapi agaknya hal itu jarang sekali terjadi.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Di ujung padukuhan mereka berpapasan dengan beberapa orang anak yang pulang dari padang sambil menggiring kambing mereka. Anak-anak itu berpaling memandang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan kerut di dahi. Mereka belum pernah melihat keduanya lewat jalan utama di padukuhan mereka. Tetapi mereka tidak bertanya apa-apa. “Kambing mereka nampak gemuk-gemuk,” berkata Glagah Putih kemudian. “Tentu di sekitar ini terdapat padang rumput yang luas.” “Atau padang perdu.” “Mereka tidak akan menggembalakan kambing mereka ke padang perdu dekat dengan hutan itu. Di hutan itu tentu berkeliaran binatang buas.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika mereka kemudian berjalan di tengah-tengah bulak berikutnya, maka matahari pun menjadi semakin rendah. Cahaya matahari yang menjadi semakin lunak menebar di atas kotak-kotak sawah yang bertingkat, semakin lama semakin menurun. Di belakang mereka, puncak Gunung Merapi nampak kemerah-merahan. Beberapa lembar awan nampak mengambang di lambung gunung. Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah banjar padukuhan. Ternyata orang-orang padukuhan itu sangat baik, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan diperlakukan sebagai seorang tamu. Penunggu banjar itu telah menyediakan makan malam bagi keduanya. Bahkan di pagi hari, penunggu banjar itu sudah menyediakan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa. Setelah mengucapkan terima kasih, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan padukuhan itu untuk meneruskan perjalanan mereka. “Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih kepada penunggu banjar, “aku sekarang berada di padukuhan mana?” “Ki Sanak berada di padukuhan Watu Palang. Jika Ki Sanak berjalan terus, maka Ki Sanak akan sampai ke padukuhan Tegal Reja. Kalau Ki Sanak berjalan terus ke barat, maka Ki Sanak akan sampai ke Kali Praga.” “Kali Praga?” ulang Rara Wulan. “Ya. Kali Praga. Ki Sanak akan menempuh perjalanan di dataran yang luas. Namun Ki Sanak masih akan menjumpai padang perdu, hutan dan rawa-rawa. Baru kemudian Ki Sanak akan sampai ke dekat satu lingkungan yang ditebari dengan bangunan-bangunan kuno berupa candi-candi.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia belum pernah melewati padukuhan Tegal Reja. Ia pun belum pernah menjelajahi daerah yang menyimpan banyak peninggalan bangunan lama, meskipun mereka tahu tentang bangunan-bangunan kuno itu. Tanah Perdikan Menoreh adalah dataran yang dibatasi oleh dinding yang berujud rangkaian panjang sebuah pegunungan yang disebut Pegunungan Menoreh di sisi barat. Pegunungan yang membujur ke utara, sampai ke tlatah yang akan dilewatinya jika mereka tidak sengaja berjalan melingkar. “Terima kasih, Ki Sanak. Kami mohon diri.” “Berhati-hatilah di perjalanan. Kalian akan menempuh daerah yang gawat. Meskipun daerah yang akan kalian lalui menjadi jalan pintas para pedagang, tetapi biasanya mereka melintas dalam rombongan yang cukup kuat. Mereka tidak mau terperosok ke dalam kesulitan karena sekelompok perampok yang menghadang mereka. Jika mereka melintas dalam kelompok yang agak besar, maka mereka akan dapat saling membantu melawan para perampok itu. Terlebih-lebih di sekitar penyeberangan di Kali Praga.” “Penyeberangan yang bagaimana yang Ki Sanak maksudkan? Apakah di Kali Praga itu ada beberapa tukang satang dengan rakitnya menunggu orang-orang yang menyeberang?” “Pada keadaan yang sewajarnya, tidak. Orang dapat menyeberang tanpa bantuan rakit dan tukang satang.” Sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan mengucapkan terima kasih sebelum mereka beranjak meninggalkan padukuhan itu. Ketika mereka keluar dari padukuhan Watu Palang, mereka masih melihat kabut yang tipis menebar di bulak yang panjang. Namun kabut itu perlahan-lahan terangkat oleh cahaya matahari yang baru terbit. Jalan membujur panjang di hadapan mereka. Menusuk di antara kotak-kotak sawah yang luas. Di ujung jalan itu nampak sebuah padukuhan yang lamat-lamat mencuat dari balik kabut yang menipis. Namun di arah lain mereka melihat hutan yang agaknya masih lebat di ujung kaki Gunung Merapi. “Kita akan pergi ke Tegal Reja,” berkata Glagah Putih. “Apakah kita akan menyeberang?” “Ya. Kita akan menyeberang Kali Praga. Tetapi kita tidak akan menuju ke selatan, agar kita tidak sampai di Tanah Perdikan kembali.” Rara Wulan tersenyum. Katanya kemudian, “Pada dasarnya Kali Praga dapat diseberangi.” “Ya. Seperti yang dikatakan penunggu banjar di Watu Palang. Tetapi jika banjir, agaknya kita akan sulit menyeberang.” “Kau lihat langit bersih, Kakang. Bukankah sekarang tidak sedang mangsa rendeng? Di musim hujan mungkin Kali Praga banjir hampir setiap hari.” “Ya. Tetapi tentu tidak perlu hari ini. Mungkin esok atau bahkan lusa.” “Kenapa harus esok atau bahkan lusa?” “Mungkin ada yang menarik perhatian di sepanjang jalan. Tetapi bukankah jalan masih panjang?” “Tetapi seperti dikatakan oleh penunggu banjar, kita harus berhati-hati, karena kita akan melalui jalan yang agaknya mempunyai banyak hambatan.” “Ya. Meskipun demikian, jalan ini masih saja menjadi jalur perjalanan para pedagang yang akan menuju ke daerah barat. Agaknya cara mengatakannya terbalik, Rara. Bukan para pedagang itu memilih jalan yang meskipun banyak hambatannya. Tetapi justru karena jalan ini banyak dilalui para pedagang yang dianggap membawa banyak uang dan barang-barang berharga, maka daerah ini telah mengundang kelompok-kelompok orang yang berniat jahat. Mereka yang ingin memiliki banyak uang dan barang-barang berharga melalui jalan pintas.” Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Ya. Agaknya kau benar, Kakang. Sebelum para penjahat itu berdatangan, jalan ini tentu merupakan jalan yang aman dan terhitung dekat dengan tujuan para pedagang yang menuju ke barat itu. Sehingga mereka memilih melalui jalan ini. Namun lambat laun, jalan ini pun menjadi jalan yang berbahaya.” “Tentu semula para pedagang itu lewat tanpa harus menunggu beberapa orang kawan. Mereka agaknya menyeberang jalan ini sendiri-sendiri atau berdua saja. Namun mereka kemudian menjadi sasaran kejahatan yang seakan-akan terpanggil untuk melakukannya di sini.” “Ya. Dengan demikian maka para pedagang itupun mendapatkan akal. Mereka melintas bersama-sama, sehingga mereka akan dapat melawan jika sekelompok perampok menghentikan mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Rara Wulan pun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak usah merasa cemas. Kita tidak mempunyai apa-apa, sehingga tidak ada seorang penjahat pun yang akan mengganggu kita.” “Kita membawa uang,” desis Glagah Putih. “Tidak seberapa, dibanding dengan benda-benda berharga yang dibawa oleh para pedagang.” “Ada yang lebih berharga.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Kitab ini.” Glagah Putih pun tiba-tiba berkata, “Bagaimana pendapatmu, jika kitab itu kita sembunyikan saja di tempat yang tidak akan pernah didatangi seseorang.” “Dimana?” “Di dalam goa misalnya. Goa yang tidak akan pernah menarik perhatian orang.” “Kalau petinya rusak dan kitabnya pun kemudian rusak pula?” “Bukankah kitab itu tidak boleh diketahui isinya oleh siapapun, kecuali kita?” “Bagaimana jika kita musnahkan saja?” “Kita masih belum tuntas. Rara. Kita belum menemukan Tuk Kawarna Susuhing Sarpa. Selain itu, masih ada lagi bagian-bagian dari laku yang harus kita selesaikan, meskipun tidak harus dengan serta-merta.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita masih harus menuntaskannya.” “Bagaimana jika kitab itu tidak usah kita tempatkan dalam peti kecil itu?” “Lalu?” “Petinya saja yang kita sembunyikan.” “Kalau rusak?” “Tidak apa-apa.” “Peti itu buatannya bagus sekali, Kakang. Aku sebenarnya senang pada bentuk dan ujudnya.” “Jika demikian, biar saja kitab itu tersimpan di dalam peti itu.” Rara Wulan menarik nafas Namun kemudian Rara Wulan itu pun berkata, “Kakang. Sebaiknya kitab itu tidak ditempatkan lagi di dalam peti ini. Kakang membawa kitabnya, aku membawa petinya. Jika ada orang yang tertarik pada peti ini, maka kita tunjukkan bahwa peti itu kosong.” “Kitab ini dapat rusak, mungkin karena keringat. Tetapi mungkin karena gerak tubuhku. Apalagi jika aku harus berloncatan dan bahkan berguling dan berputaran.” “Kitab itu kita bungkus dengan kain. Kita dapat membeli kain di pasar yang akan kita lewati. Entah nanti, entah esok. Jika kitab itu ada di dalam peti ini, akan dapat terjadi salah paham. Apalagi jika kita akan melewati jalan yang mempunyai banyak hambatan. Mereka tentu akan mempertanyakan isi peti ini. Jika kita harus membukanya, maka kitab itu akan sangat menarik perhatian mereka. Tetapi jika peti itu kosong, maka mereka tidak akan mempersoalkannya lagi.” “Tetapi mereka tentu masih juga akan bertanya, kenapa peti kosong itu kau bawa kemana-mana?” “Peti itu semula berisi perhiasan peninggalan orang tua. Tetapi sudah dirampas orang sebelumnya.” Glagah Putih tertawa. Tetapi ia pun berkata, “Baiklah. Jika kita sudah mempunyai sepotong kain, maka kitab kecil yang ada di dalam peti kecil itu akan kita bungkus, dan aku akan menyelipkannya di bawah bajuku. Tetapi aku harus mengenakan stagenku di luar bajuku, agar kitab itu tidak meluncur jatuh.” “Kau pakai baju gondil. Kau bawa kitab itu di dalam baju gondilmu.” Glagah Putih tertawa lebih panjang. Namun suara tertawanya berhenti. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berpaling karena mereka mendengar derap kaki beberapa ekor kuda yang berlari di belakang mereka. Beberapa saat kemudian, beberapa orang penunggang kuda melarikan kuda mereka mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan. Ada di antara mereka yang berpaling kepada kedua orang suami istri itu. Tetapi yang lain sama sekali tidak menghiraukannya “Tentu mereka para pedagang dan saudagar yang diceritakan oleh penunggu banjar itu,” desis Rara Wulan. “Ya. Sekelompok saudagar dan pedagang yang cukup kuat. Para pedagang dan saudagar yang berkeliling sampai ke tempat yang jauh, mereka tentu memiliki bekal kemampuan dan ilmu yang tinggi. Bahkan ada di antara mereka yang masih membawa satu dua orang pengawal yang kuat untuk melindunginya dari orang-orang yang berniat jahat. Jika mereka bergabung dalam satu kelompok yang agak besar, maka kelompok-kelompok penjahat pun akan berpikir ulang jika mereka berniat mencegat perjalanan para pedagang dan saudagar itu.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan cara yang demikian, maka para pedagang dan saudagar itu tidak akan diganggu di perjalanan. Baru setelah mereka sampai di tempat yang aman, mereka saling memisahkan diri. Tetapi tempat yang aman itu pun pada suatu saat tentu akan menjadi tidak aman pula. Para penjahat, perampok dan penyamun yang mencium bahwa para pedagang dan saudagar itu telah berpisah dan menuju ke tujuan mereka masing-masing, maka mereka pun akan datang ke tempat itu. Yang kemudian nampak di depan adalah debu yang dihamburkan oleh kaki kuda yang berlari. Iring-iringan orang berkuda itu pun kemudian segera hilang dari pandangan mata mereka. Keduanya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Jalan yang mereka lalui masih berada di bulak yang luas. Padukuhan yang ada di hadapan mereka masih berjarak beberapa ratus kotak. “Akhirnya daerah ini akan menjadi daerah yang aman dengan sendirinya. Para perampok dan penyamun akhirnya akan pergi, karena tempat ini tidak lagi memberikan kemungkinan kepada mereka untuk merampas harta benda para pedagang dan saudagar yang lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar. Meskipun sebenarnya para pedagang dan saudagar itu juga saling bersaing, tetapi di perjalanan yang gawat mereka saling membantu.” Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka sampai di simpang empat di tengah-tengah bulak yang sepi itu. Beberapa orang bermunculan dari balik gerumbul perdu yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan yang menyilang jalan yang dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. “Berhenti,” berkata seorang di antara mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti. “Ada apa kalian menghentikan perjalanan kami, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih. “Jangan berpura-pura tidak tahu.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku tidak berpura-pura. Tetapi aku benar-benar tidak tahu maksud kalian.” “Baiklah,” berkata seorang yang lain, “aku tidak mau berbelit-belit Berikan apa saja yang kalian punya kepada kami.” “O,” Glagah Putih mengangguk-angguk. “Jadi kalian ingin merampok?” “Ya.” “Kenapa tidak kau lakukan tadi ketika sekelompok orang berkuda lewat? Mereka adalah pedagang dan saudagar-saudagar yang tentu Mereka tentu membawa uang dan barang-barang berharga yang dapat kalian rampas dan kalian bawa ke sarang kalian.” “Gila. Mereka terdiri dari banyak orang.” Glagah Putih memandang para perampok itu seorang-seorang. Mereka memang hanya terdiri dari lima orang. Mereka tentu akan membuat pertimbangan ulang jika mereka akan merampok sekelompok pedagang dan saudagar berkuda yang baru saja lewat. “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “kenapa kalian hanya berlima? Bukankah kalian tahu bahwa para pedagang dan saudagar yang lewat jalan ini tentu tidak hanya satu atau dua orang. Mereka tentu berkelompok, agar mereka dapat mempertahankan dirinya jika mereka bertemu dengan sekelompok perampok.” Seorang di antara mereka menjawab dengan jujur, “Sebenarnya kami tidak hanya berlima Kami telah membuat kesepakatan dengan beberapa orang kawan kami yang lain. Tetapi agaknya mereka terlambat datang. Mereka tentu memperhitungkan bahwa jika ada sekelompok pedagang lewat, tentu tidak sepagi ini. Tetapi menurut dugaan kami, nanti tentu masih ada lagi sekelompok pedagang yang lewat. Mudah-mudahan kelompoknya lebih kecil dari kelompok yang besar yang baru saja lewat.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tunggu saja kawan-kawanmu. Nanti kalian dapat menghentikan sekelompok pedagang yang akan lewat.” “Tetapi kami tidak membiarkan kalian berdua lewat begitu saja tanpa menyerahkan uang dan barang-barang milik kalian.” “Kami tidak mempunyai apa-apa,” jawab Glagah Putih, “kami adalah dua orang pengembara.” “Pengembara?” “Ya. Kami sedang menjalani laku. Kakekku meninggalkan warisan kepadaku pengetahuan tentang pengobatan dan penglihatan tembus ruang dan waktu. Tetapi aku harus menjalani laku. Kami harus mengembara tiga tahun tanpa pulang. Mendatangi tempat-tempat yang keramat dan mencari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan.” Para penyamun itu termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika ada di antara mereka yang memandangi peti yang diemban dengan selendangnya. “Apa yang kau bawa?” bertanya salah seorang di antara para penyamun itu kepada Rara Wulan. “Bukan apa-apa,” jawab Rara Wulan. “Berikan kepadaku,” geram penyamun itu. Tetapi Glagah Putih-lah yang menjawab, “Yang dibawanya adalah sebuah peti yang berisi kitab. Laku yang kami jalani sekarang dasarnya adalah bunyi kitab itu.” “Bohong. Kalian tentu membawa barang berharga di selendangnya itu.” Glagah Putih pun kemudian mendekati Rara Wulan sambil berkata, “unjukkan kepadanya, bahwa yang ada di dalam gendonganmu itu adalah sebuah peti kecil yang berisi kitab yang menuntun laku yang sedang kita jalani sekarang.” Rara Wulan menjadi agak ragu. Namun ia pun kemudian mengambil peti kecil itu dan membukanya. Yang ada di dalam peti kecil itu memang hanya sebuah kitab kecil. “Nah, kau percaya sekarang, bahwa kami tidak mempunyai apa-apa kecuali kitab kecil itu? Jika kau tidak percaya, kau dapat membaca isinya serba sedikit, untuk meyakinkan kebenaran kata-kataku.” “Tidak. Aku tidak perlu melihat isi kitab itu.” “Bukankah kau harus yakin bahwa aku tidak berbohong ?” Tiba-tiba saja orang itu membentak, “Aku tidak dapat membaca! Buat apa aku melihat isi kitabmu?” “Jika demikian, biarlah kami lewat.” “Tunggu,” berkata yang lain, “jika kau mengembara selama tiga tahun, kau tentu membawa bekal uang cukup banyak.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Kami tidak sedang menempuh perjalanan untuk ngenggar-ngenggar penggalih, sehingga kami membawa banyak uang untuk bekal perjalanan. Tetapi kami sedang menjalani laku. Kami makan dan minum apa saja yang kami temui di perjalanan kami. Suatu kali kami mendapat perlakuan baik dari penghuni sebuah padukuhan. Kami mendapat suguhan makan dan minum. Namun pada kesempatan lain, kami menemukan pohon buah-buahan liar di pinggir-pinggir hutan. Sekali-kali kami melibatkan diri dalam kerja di sawah atau ikut sambatan atas ijin pemiliknya, maka kami akan mendapat uang serba sedikit. Setidak-tidaknya kami akan mendapat makan dan minum di hari itu.” Para penyamun itu termangu-mangu. Namun agaknya mereka mempercayai keterangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, seorang di antara mereka yang agaknya mereka anggap sebagai pemimpin berkata, “Biarlah mereka pergi.” Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Kenapa kita tidak minta perempuan itu singgah barang sebentar di sarang kita?” “Tutup mulutmu. Kau selalu membuat kita semuanya kehilangan kabegjan. Kehilangan kesempatan untuk mendapat rejeki.” Orang itu terdiam. Dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan meneruskan perjalanan kami. Perjalanan kami masih panjang. Kami baru menjalani laku ini selama setengah tahun.” “Pergilah. Jangan lewat jalan ini lagi,” geram pemimpin sekelompok penyamun itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beranjak meninggalkan tempat ini. Namun sebelum mereka pergi, mereka melihat beberapa orang datang lewat jalan simpangan, menemui para penyamun yang sudah ada di bulak itu. “Kau biarkan orang itu pergi?” bertanya seorang di antara mereka yang baru datang. “Ya.” “Kenapa ?” “Mereka adalah pengembara yang sedang menjalani laku atas perintah guru mereka. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali membawa kepala mereka.” Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan terus dengan jantung yang berdebaran. Jika orang-orang yang baru datang itu bersikap lain, maka keduanya terpaksa mengambil sikap yang lain pula. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih mendengar seseorang berkata, “Kalian datang terlambat. Ada beberapa orang pedagang dan saudagar berkuda lewat.” “Kalian tidak menghentikan mereka?” “Mereka lewat dalam kelompok besar. Kami tidak ingin membunuh diri di sini.” Agaknya mereka masih berbincang panjang. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi semakin jauh, tidak dapat mendengarkan lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan masih berjalan menyusuri jalan yang sama. Beberapa kali mereka melewati padukuhan. Namun mereka masih juga melihat jejak kaki kuda di jalan yang dilewatinya. Karena itu, mereka pun tahu bahwa para pedagang dan saudagar itu melewati jalan yang mereka lewati itu pula. Dalam pada itu, jalan yang mereka lewati semakin lama justru nampak menjadi semakin ramai. Beberapa jalur jalan bermuara di jalan yang mereka lewati itu. “Kita menuju ke tempat yang agaknya lebih ramai dibandingkan tempat yang telah kita lewati.” Glagah Putih mengangguk. “Apakah kita sudah sampai di Tegal Reja?” “Tentu belum,” jawab Glagah Putih, “tetapi jalan ini tentu menuju ke Tegal Reja.” Rara Wulan pun mengangguk pula. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang agaknya cukup besar, maka mereka telah melewati sebuah pasar. Pasar yang cukup luas. Tatapi agaknya pasar itu telah mengalami masa surut. Pasar itu sudah tidak banyak dikunjungi orang. Apalagi hari sudah semakin siang. “Di hari pasaran, mungkin pasar ini masih juga ramai,” berkata Rara Wulan. “Tetapi menilik bangunannya, serta sisi-sisi yang telah ditumbuhi rerumputan dan bahkan batang ilalang itu, pasar ini sudah menjadi jauh menyusut. Sebagian dari bangunan-bangunan yang ada di pasar ini tidak dipergunakan lagi. Tempat para pande besi bekerja di sudut pasar itu pun nampaknya tidak pernah lagi disentuh.” Keduanya justru berhenti di depan pasar yang menjadi semakin lengang itu. “Masih ada sebuah kedai yang buka,” berkata Glagah Putih, “kita dapat singgah sebentar.” Rara Wulan mengangguk. Ketika keduanya memasuki kedai yang masih terbuka pintunya itu, tidak seorang pun yang berada di dalamnya kecuali pemilik kedai itu. Agaknya dagangannya pun tidak terlalu banyak. Hanya sekedarnya saja. Tidak terdapat seorang pelayan pun di dalam kedai itu, sehingga segala sesuatunya cukup dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memesan minuman. Ketika mereka bertanya tentang makan yang tersedia di kedai itu, pemilik kedai itu menjawab, “Di sini hanya disediakan nasi tumpang, Ki Sanak.” “Tidak ada yang lain?” bertanya Rara Wulan. “Tidak. Tidak banyak orang yang datang ke pasar ini sekarang. Bahkan semakin lama semakin menyusut.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Tidak banyak lagi pedagang dari tempat yang jauh datang ke pasar ini. Dahulu, pasar ini merupakan tempat pemberhentian para pedagang dari tempat-tempat yang jauh. Di sebelah pasar itu terdapat rumah yang besar, yang dipergunakan sebagai penginapan. Setiap hari halamannya yang luas terisi oleh beberapa buah pedati. Di sini para pedagang membawa dagangan yang kemudian diambil oleh para pedagang dari tempat yang berbeda. Mereka kadang-kadang saling menukar barang-barang dagangan mereka.” “Apakah sekarang tidak lagi?” “Tidak.” “Kenapa?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah.” Orang itu berhenti sejenak, lalu ia pun tiba-tiba bertanya, “Apakah Ki Sanak mau makan atau tidak? Yang ada hanya nasi tumpang.” “Jika tidak ada yang lain, baiklah,” jawab Rara Wulan. Pemilik kedai itu kemudian menyiapkan minuman dan nasi tumpang bagi kedua orang tamunya, Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di amben yang panjang termangu-mangu memandang berkeliling. Kedai itu memang sederhana saja. Meskipun ruangannya cukup luas, tapi sebagian tidak lagi dipergunakan. “Pada saatnya, kedai ini tentu sebuah kedai yang besar,” berkata Rata Wulan. “Ya, menilik sisa-sisa perabot yang dipergunakannya sekarang. Tetapi sejalan dengan menyusutnya pasar di sebelah, maka kedai ini pun telah menyusut pula. Agaknya demikian pula kedai-kedai yang lain. Bahkan mungkin satu dua di antaranya sudah ditutup.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya pemilik kedai itu tidak mau menyebut penyebabnya meskipun jelas. Tentu karena tidak banyak lagi pedagang yang datang ke pasar itu. Sedang para pedagang itu tidak mau mengalami kesulitan dengan para perampok dan penyamun. Sehingga pasar ini pun kemudian tidak lebih dari pasar bagi orang-orang yang menjual hasil kebunnya. Mereka yang berbelanja pun hanyalah mereka yang memerlukan kebutuhan dapur sehari-hari.” Pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki memasuki kedai itu dan duduk dekat Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata keduanya adalah bebahu padukuhan itu. Pemilik kedai itu dengan serta-merta mendatangi keduanya sambil bertanya, “Minum, Ki Jagabaya? Ki Kamituwa?” “Ya,” jawab orang yang disebut Ki Jagabaya. “Makan?” bertanya pemilik kedai itu. “Makan, Ki Kamituwa?” bertanya Ki Jagabaya. “Terima kasih. Aku sudah makan di rumah.” “Tadi pagi?” “Aku sarapan sudah agak siang.” Ki Jagabaya itu pun kemudian menjawab pertanyaan pemilik kedai itu, “Tidak. Aku hanya akan minum. Apakah kau punya makanan?” “Sudah habis, Ki Jagabaya.” “Baiklah, beri saja kami minum.” Pemilik kedai itu segera menyiapkan minuman bagi Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa Dalam pada itu, kedua orang bebahu itu memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang makan nasi tumpang. Dengan nada ragu Ki Jagabaya bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Aku ingin bertanya, apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini? Rasa-rasanya aku belum pernah melihat Ki Sanak berdua.” “Kami memang tidak tinggal di sekitar tempat ini, Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih. “Ki Sanak tahu bahwa aku Jagabaya di kademangan ini?” “Tadi, pemilik kedai itu menyebut Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa.” “O,” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu tertawa. “Jika demikian, Ki Sanak ini tinggal dimana?” bertanya Ki Kamituwa. “Kami berdua adalah suami istri yang tinggal di Banyu Asri, dekat Jati Anom.” “Jati Anom? Begitu jauh. Lalu apa keperluan Ki Sanak sampai k-mari?” “Kami sedang dalam pengembaraan, Ki Kamituwa. Kami meninggalkan kampung halaman kami, karena kami tidak dikehendaki lagi keberadaan kami di rumah oleh orang tua kami.” “Maksud Ki Sanak?” “Orang tuaku dan orang tua istriku tidak merestui pernikahan kami, sehingga kami terusir dari rumah mereka. Dari rumah orang tuaku dan dari rumah istriku. Karena itu, kami mengembara atas nasehat seorang tua yang pandai. Pengembaraan ini menjadi laku, menyongsong masa depan kami berdua.” “Tetapi kenapa kalian lewat daerah kami yang terhitung daerah yang gawat ini.” “Kami tidak tahu bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat, sehingga kami telah mengembara di lingkungan ini.” “Darimana kau kemudian mengetahui bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat?” “Pemilik kedai ini memberitahukan kepadaku.” “Tidak, Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa,” potong pemilik kedai itu, “aku hanya mengatakan bahwa dahulu banyak pedagang yang lewat dan berhenti di sini. Sekarang tidak lagi.” Kedua orang bebahu itu mengangguk-angguk. Ki Jagabaya pun kemudian berkata, “Orang itu tentu tidak akan berani berkata terus terang. Banyak perampok dan penyamun di sekitar tempat ini. Kami para bebahu menjadi pusing memikirkannya. Kesejahteraan rakyat kami menjadi jauh menyusut. Pasar ini hampir mati. Jika semula rakyat kami dapat mengais rejeki sedikit di pasar ini, sekarang tidak lagi. Kedai-kedai pun tidak lagi banyak dikunjungi orang.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jagabaya pun berkata, “Kami tidak dapat berbuat banyak. Para pedagang yang kemudian lewat dalam kelompok-kelompok yang besar, tidak banyak yang singgah di pasar ini. Mereka langsung pergi ke tempat-tempat yang lebih ramai dan jauh dari para perampok dan penyamun, karena lingkungannya yang lebih baik. Lingkungannya mempunyai kekuatan untuk melawan perampok dan penyamun.” Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mendengarkan saja. Mereka tidak tahu, bagaimana harus menanggapi keluhan Ki Jagabaya itu. Namun mereka dapat mengerti apa yang dikatakan oleh kedua bebahu itu. “Tadi, sekelompok pedagang lewat. Tetapi mereka tidak mau lagi singgah di pasar ini. Apalagi bermalam di sini, seperti dahulu. Ketika aku persilahkan mereka singgah, mereka hanya mencibirkan bibir saja. Bahkan ada yang dengan terus terang berkata bahwa kademangan ini tidak mampu menjaga keamanan mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Ki Jagabaya itu pun menarik nafas panjang. Di luar sadarnya ia pun berkata, “Sayang, bahwa Ki Demang tidak sekuat ayahnya dahulu. Jika Ki Demang seorang yang kuat seperti ayahnya, maka keadaan kademangan ini akan berbeda.” Adalah di luar sadarnya pula ketika Glagah Putih itu pun berkata, “Bukankah Ki Jagabaya mempunyai wewenang untuk menangani persoalan yang menyangkut pengamanan para pedagang itu?” Ki Jagabaya memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian ia pun berkata, “Ya. Tetapi bukankah kegiatanku harus mendapat dukungan sepenuhnya dari Ki Demang? Jika Ki Demang masih saja acuh tak acuh, bagaimana aku dapat melangkah lebih jauh?” Glagah Putih terdiam. Ki Jagabaya itu pun menghirup minumannya lagi. Namun tiba-tiba saja seorang anak muda berlari-lari ke kedai itu. Dengan nafas terengah-engah ia pun berkata, “Ki Jagabaya. Ki Kamituwa. Ada serombongan pedagang yang berada di banjar.” “Kenapa?” “Sebagian mereka terluka. Nampaknya mereka baru saja bertempur melawan para penyamun di bulak panjang. Apakah mereka sempat melarikan diri atau mereka berhasil mengusir para penyamun namun beberapa orang kawan mereka terluka ,aku tidak tahu.” “Kejadian ini bukan kejadian yang pertama,” berkata Ki Jagabaya, “tetapi akibatnya sangat buruk bagi kademangan, khususnya padukuhan ini. Para penyamun itu datang ke padukuhan dan menakut-nakuti rakyat kami. Mereka menganggap bahwa kami telah bersalah memberikan perlindungan kepada para pedagang itu. Padahal sekelompok pedagang dalam jumlah yang agak besar itu mampu melindungi diri mereka sendiri.” “Mereka menunggu Ki Jagabaya dan para bebahu,” berkata anak muda itu. Tetapi Ki Jagabaya masih saja duduk di tempatnya. Katanya, “Para pedagang itu berpegang pada kepentingan mereka sendiri. Tadi, kelompok yang terdahulu, hanya mencibir bibirnya saja ketika aku minta untuk singgah. Sekarang dalam keadaan yang sulit, mereka ingin melibatkan kami.” “Apakah setiap hari ada beberapa kelompok pedagang yang lewat?” bertanya Glagah Putih. “Tidak. Besok hari pasaran di pasar Tegal Reja. Besok lusa mereka akan berada di pasar Mertoyudan. Karena itu, hari ini ada beberapa kelompok pedagang yang lewat kademangan ini.” Glagah Putih menarik nafas panjang. “Bagaimana Ki Jagabaya ?” bertanya anak muda yang berlari-lari itu. “Kau sudah memberikan laporan kepada Ki Demang?” “Sudah, Ki Jagabaya.” “Apa kata Ki Demang?” “Aku diperintahkannya mencari Ki Jagabaya.” Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bangkit berdiri dan berkata kepada Ki Kamituwa, “Marilah kita lihat. Tetapi jika para perampok dan penyamun itu mendendam kepada kita di sini, maka kita-lah yang akan mengalami kesulitan.” “Kita dapat menjelaskannya, Ki Jagabaya, bahwa kita tidak dapat berbuat lain. Kita tidak dapat melawan sekelompok penyamun.” Ki Jagabaya tidak menjawab. Dikeluarkannya uang dua keping, lalu diberikannya kepada pemilik kedai itu. “Sudahlah, Ki Jagabaya. Hanya minuman.” “Kau sudah kehilangan gula kelapa untuk membuat minuman itu.” “Aku nderes sendiri, Ki Jagabaya.” Ki Jagabaya tidak menjawab. Tetapi dua keping uang itu tetap saja ditinggalkannya di sebelah mangkuk minumannya. Sejenak kemudian, keduanya pun telah beranjak dari tempatnya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Ki Jagabaya, apakah aku diperkenankan melihat keadaan mereka di banjar?” “Apa kepentinganmu?” “Kami berdua mempunyai sedikit pengetahuan tentang obat-obatan-serta perawatan. Mungkin kami dapat membantu merawat mereka.” “Kenapa kau bersusah payah melakukannya?” “Mungkin… mungkin….” Glagah Putih tidak melanjutkannya. “Mungkin kau akan mendapat upah? Begitu?” Glagah Putih tidak menjawab. “Terserah kepadamu. Jika kesulitan yang dialami oleh para pedagang itu dapat memberimu rejeki.” “Bukan maksudku, Ki Jagabaya.” “Baik. Baik, aku mengerti. Aku minta maaf.” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu pun segera meninggalkan kedai itu, meskipun dengan perasaan yang agak segan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera membayar harga minuman dan makanannya pula. Atas ijin Ki Jagabaya, maka mereka pun akan pergi kebanjar padukuhan. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di banjar, dilihatnya Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa sedang berbicara dengan beberapa orang pedagang. Sementara itu para pedagang yang lain nampaknya sibuk merawat tiga orang kawan mereka yang terluka agak berat. Sedangkan beberapa orang kawan yang lain terluka ringan. Namun agaknya mereka yang terluka ringan itu tidak menghiraukan luka-luka mereka serta pakaian mereka yang terkoyak. Sementara itu seorang di antara para pedagang yang berbicara dengan Ki Jagabaya itu berkata, “Aku minta Ki Jagabaya dapat mengerti.” “Aku dapat mengerti, Ki Sanak.” “Jika Ki Jagabaya dapat mengerti, kenapa Ki Jagabaya merasa berkeberatan untuk merawat tiga orang kawan kami yang terluka parah?” “Kami tidak berkeberatan, Ki Sanak. Tetapi kami akan merasa sangat sulit untuk mempertanggungjawabkan mereka jika sekelompok perampok itu datang kemari. Jika mereka datang dengan niat buruk terhadap tiga orang kawan Ki Sanak yang terluka, apa yang dapat kami lakukan?” “Apakah kalian sepadukuhan ini tidak dapat melawan sekelompok perampok?” “Jadi kami harus bertempur melawan para perampok itu? Ki Sanak, Ki Sanak harus tahu bahwa kami tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Tidak ada orang padukuhan ini yang mampu bertempur dengan ilmu kanuragan yang memadai. Bahkan aku dan para bebahu tidak memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi para perampok dan penyamun.” “Tetapi kalian sepadukuhan jumlahnya tentu berlipat.” “Bayangkan, Ki Sanak. Seandainya kami mengerahkan semua laki-laki sepadukuhan untuk melindungi tiga orang saudagar kaya yang terluka parah di padukuhan ini, apa yang terjadi? Berapa orang yang harus kami korbankan untuk kepentingan tiga orang saudagar kaya itu? Apakah kami orang orang miskin di padukuhan ini sudah sewajarnya mengorbankan nyawa kami untuk orang-orang kaya sebagaimana Ki Sanak dan para saudagar?” “Jadi, dimana letaknya kebersamaan di antara kita untuk menentang kejahatan? Jika kalian tidak mau merawat tiga orang kawan kami, bahkan dengan imbalan yang cukup, itu berarti bahwa kalian tidak mempedulikan nasib sesama kalian.” “Tetapi untuk melindungi tiga orang yang terluka parah itu, mungkin sekali kami harus mengorbankan nyawa lebih dari tiga orang.” “Itu adalah akibat yang harus ditanggung dalam kebersamaan. Kita saling berkorban untuk sesama kita.” “Kebersamaan yang manakah sebenarnya yang kalian maksud?” “Jangan pura-pura tidak tahu, Ki Jagabaya. Kami sekarang memerlukan bantuan kalian untuk menyembunyikan kawan-kawan kami yang terluka.” “Sudah aku katakan, kami akan melakukannya. Tetapi kami tidak bertanggungjawab jika para perampok itu kemudian menemukannya.” “Nah, kebersamaan yang aku maksudkan adalah, bahwa kalian harus melindunginya.” “Kami tidak dapat mengorbankan orang-orang kami untuk menyelamatkan kawan-kawan kalian.” “Jadi kalian menolak untuk saling membantu?” “Saling membantu yang mana? Jika kalian dalam kesulitan, maka kalian baru ingat kepada kami. Orang-orang miskin yang tinggal di padukuhan ini. Tetapi jika usaha kalian lancar-lancar saja, maka kalian sama sekali tidak mau memalingkan wajah kalian kepada kami. Tadi juga ada serombongan pedagang yang lewat, tetapi agaknya mereka luput dari pencegatan para penyamun. Ketika aku mempersilahkan mereka singgah di pasar atau berhenti sebentar, mereka justru mencibirkan bibir mereka. Mereka menjadi acuh tak acuh. Nah, sekarang keadaannya berbeda. Baru kalian berhenti dan menemui kami di sini. Berbicara dan minta bantuan kami.” “Cukup. Aku tidak perlu sesorah itu. Kawan-kawanku terluka parah. Itu yang harus kita bicarakan.” “Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya, “aku menyarankan agar kawan-kawan Ki Sanak itu kalian titipkan di padukuhan yang agak jauh, sehingga para perampok itu tidak akan mencarinya ke sini.” Tetapi seseorang di antara para pedagang itu berkata, “Persetan kau, Ki Jagabaya. Agaknya kau justru bekerja sama dengan para perampok dan penyamun itu.” “Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak menuduh kami seperti itu?” “Jika kalian bukan bagian dari mereka, kalian tentu akan bersedia menyembunyikan dan melindungi kawan kami.” Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Sementara itu pedagang yang lainnya berkata, “Ki Jagabaya. Tadi, dalam pertempuran dengan para perampok dan penyamun, kami dapat mengalahkan mereka. Mereka berlarian dengan meninggalkan satu atau dua orang terbunuh dan yang lain luka-luka parah. Jika kalian takut kepada para penyamun, apakah kalian tidak takut kepada kami? Kami dapat memaksa keinginan kami kepada Ki Jagabaya. Bahkan kami akan mengancam, bahwa kami dapat berbuat lebih buruk dari apa yang dapat dilakukan oleh para perampok dan penyamun, karena kami ternyata lebih kuat dari mereka.” Jantung Ki Jagabaya bergetar semakin cepat. Katanya, “Tetapi mereka dapat mengajak kawan-kawan mereka yang lain untuk datang ke padukuhan ini.” Seorang saudagar yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal, meskipun sudah menjadi kotor setelah bertempur melawan para perampok, menyahut, “Sembunyikan kawan kami yang terluka. Terserah caramu. Lindungi mereka. Cari tabib yang terpandai untuk mengobati mereka. Pada saat kami kembali lewat jalan ini, mereka harus sudah menjadi semakin baik. Jika terjadi sesuatu atas diri mereka, maka padukuhan ini akan kami hancurkan. Kau dengar itu, Ki Jagabaya? Jika perampok itu dapat mengajak kawan-kawannya, maka kami pun akan dapat mengajak kawan-kawan kami.” Jantung Ki Jagabaya rasa-rasanya akan meledak. Tetapi disadarinya, bahwa ia tidak mempunyai kekuatan yang dapat mendukung jika ia menjadi marah. Mungkin Ki Jagabaya sendiri, mungkin Ki Kamituwa, memiliki kemampuan untuk berkelahi. Tetapi yang lain tidak. Sementara itu, sekelompok pedagang itu jumlahnya cukup banyak. Namun dalam pada itu, terdengar seseorang berkata, “Itu tidak adil, Ki Sanak.” Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di sebelah seorang perempuan yang juga masih muda. Saudagar yang berpakaian mahal itu memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Beberapa langkah ia bergeser mendekati Glagah Putih sambil menggeram, “Setan kau. Kenapa kau turut campur? Siapa kau he?” “Namaku Wiguna. Ini istriku, Miyat.” “Apa yang kau maksud tidak adil?” “Kalian ternyata hanya mementingkan diri sendiri. Kalian tidak mengingat kesulitan yang bakal dialami oleh padukuhan ini jika kau memaksa meninggalkan kawan-kawanmu yang sakit. Apalagi dengan berbagai macam keharusan yang tidak masuk akal. Harus sembuh, harus selamat, harus … harus … apalagi. Jika para penyamun itu datang dan memasuki setiap rumah di padukuhan ini, yang bermaksud melindungi kawan-kawan Ki Sanak, akan mengalami bencana bagi diri mereka. Mayat akan berserakan di jalan-jalan. Kemudian beberapa hari lagi, kalian datang untuk mengambil kawan-kawan kalian. Tetapi karena kawan-kawan kalian telah mati, maka kalian akan menghancurkan padukuhan ini. Berapa orang lagi yang harus mati di tangan kalian?” “Tutup mulutmu. Atau bahkan kau di kirim oleh para perampok itu untuk melihat keadaan di padukuhan ini?” “Nalarmu sudah kusut, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih. Wajah saudagar itu menjadi merah. Katanya, “Kau berani menyebut nalarku sudah kusut?” “Ya. Karena kau menuduhku dikirim oleh para penyamun itu kemari.” “Aku tidak peduli siapa kau. Tetapi karena kau sudah menghinaku, maka kau akan menyesal. Meskipun di sini ada seorang Jagabaya, tetapi aku sendiri akan menghukummu. Mengoyak mulutmu yang lancang itu, serta merontokkan gigimu.” “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku tadi juga berjalan melewati bulak panjang serta bertemu dengan sekelompok penyamun yang jumlahnya sekitar sepuluh atau sebelas orang. Tetapi mereka dapat diajak bicara. Mereka mencoba mengerti keadaan, sehingga mereka tidak mengganggu aku, dua orang suami istri yang mengembara.” “Persetan dengan para penyamun. Mereka sudah kami hancurkan di bulak panjang itu.” “Bukan itu masalahnya. Tetapi seharusnya penalaran kalian lebih panjang dari para penyamun itu.” “Cukup. Kemarilah. Aku akan merontokkan gigimu sampai yang terakhir.” Adalah mendebarkan jantung orang-orang yang mengerumuninya, ketika mereka melihat Glagah Putih itu melangkah dengan tenangnya mendekati saudagar yang garang itu. Dua langkah di hadapan saudagar yang nampaknya cukup kaya itu, Glagah Putih berhenti. Tiba-tiba saja tanpa memberikan peringatan apapun juga, saudagar itu meloncat sambil mengayunkan serangannya langsung ke mulut Glagah Putih. Glagah Putih sendiri juga terkejut. Tetapi tubuhnya telah terlatih dengan matang. Karena itu, kakinya seakan-akan bergerak sendiri, bergeser ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Serangan saudagar itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Tangan saudara itu terjulur dengan jarak setebal daun dari wajahnya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun telah menggerakkan tangannya. Kelima jarinya terbuka menusuk di bawah tulang-tulang rusuk saudagar yang marah itu. Terdengar saudagar itu menjerit kesakitan. Bahkan tubuhnya pun telah terdorong beberapa langkah surut. Saudagar itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga karena itu maka ia pun segera terkapar di tanah. Ketika saudagar itu tergesa-gesa mencoba bangkit berdiri, maka pinggangnya terasa sangat sakit. Tusukan jari-jari tangan Glagah Putih agaknya telah menimbulkan luka di dalam tubuh saudagar,atu. Karena itu, saudagar itu tidak dapat lagi berdiri tegak. Tetapi bubuhnya menjadi agak terbongkok dan kesakitan. Seorang pedagang yang lain telah berteriak dengan lantangnya, “Kau telah menyakiti kawanku. Kau akan menyesali perbuatanmu itu!” “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “yang terjadi justru yang tidak kita kehendaki. Kenapa justru kita yang bertengkar, sementara para perampok dan penyamun itu masih saja mengancam kita?” “Kau adalah bagian dari mereka.” “Dengar, Ki Sanak. Bukankah pendapat Ki Jagabaya itu baik dan patut dipertimbangkan? Bawa kawan-kawanmu yang terluka itu ke padukuhan yang agak jauh. Para perampok itu tentu tidak akan mencarinya sampai ke sana.” “Persetan dengan pendapat Ki Jagabaya.” “Ki Sanak. Jika kita berselisih dan bertengkar di sini, maka kalian tentu akan mengalami kesulitan di perjalanan. Seharusnya kalian menyimpan tenaga kalian sebaik-baiknya. Pada saat kalian menyeberangi Kali Praga, mungkin kalian akan bertemu dengan sekelompok perampok dan penyamun yang lain. Kalian harus bertempur lagi. Sementara itu, jika kalian harus berselisih dengan kami di sini, kalian akan kehilangan lagi beberapa orang kawan. Setidak-tidaknya beberapa orang kawanmu itu akan terluka seperti kawanmu yang akan kau titipkan itu.” “Sombongnya kau, Wiguna. Jika kau tidak mau menyingkir, maka kau akan aku singkirkan.” “Jangan menjadi terlalu tamak, Ki Sanak. Seharusnya jika kau lewat di padukuhan ini, kau justru harus membayar pajak perjalanan kalian. Setidak-tidaknya untuk memperbaiki jalan yang menjadi rusak oleh kaki-kaki kuda kalian. Bukan justru memeras dan memaksa orang-orang padukuhan ini melakukan pekerjaan di luar kemampuan mereka.” “Cukup!” teriak pedagang yang lain. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Beberapa orang pedagang telah mengerumuninya. Kemarahan nampak membayang di wajah mereka. Bahkan seorang yang bertubuh tinggi menggeram, “Aku akan mengoyak mulutnya.” “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?” “Menyingkir, atau kami singkirkan. Kami akan menghancurkan kesombonganmu dan melemparkanmu ke selokan di pinggir bulak panjang itu.” “Apa boleh buat. Jika kalian memaksa, kita akan berkelahi.” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa menjadi tegang. Sambil melangkah mendekati Glagah Putih ia pun berkata, “Sudahlah, Wiguna. Kau jangan terlibat dalam persoalan ini terlalu dalam. Bukankah kau masih melanjutkan pengembaraanmu? Biarlah kami mencoba mengatasi perkara ini. Jika terpaksa, kami akan mencoba untuk menyembunyikan kedua orang pedagang yang terluka itu, meskipun harus kami bawa ke padukuhan lain.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi kami tidak dapat membiarkan ketidakadilan ini terjadi. Para pedagang itu memang seharusnya mendapat perlindungan. Tetapi tidak dengan mengorbankan rakyat miskin di padukuhan ini. Sehari-hari mereka sudah mengenyam kesenangan. Apa yang mereka inginkan sekeluarga, dapat mereka adakan. Sedangkan rakyat padukuhan ini, meskipun ada juga seorang dua orang yang kaya, tetapi pada umumnya mereka harus bekerja keras untuk makan esok pagi. Bagaimana mungkin orang-orang kaya ini dengan tanpa merasa bersalah harus mengorbankan orang-orang miskin?” “Sekali lagi aku peringatkan, pergi atau aku campakkan kau ke parit di bulak panjang itu. Jari-jari kami masih berbau darah para perampok itu Panasnya hati kami masih belum mereda. Sekarang kau bakar lagi kemarahan kami dengan tingkah lakumu yang gila itu.” “Kalian yang harus pergi. Bawa kawanmu yang terluka parah. Besok, jika kalian lewat jalan ini lagi, kalian harus membayar pajak untuk memperbaiki jalan yang dirusakkan oleh tapak besi di kaki-kaki kuda kalian.” Seorang pedagang tidak lagi dapat menahan diri. Ia pun dengan serta-merta telah menyerang Glagah Putih. Namun dengan gerak yang sederhana Glagah Putih mampu mengelakkannya. Bahkan dengan kuat Glagah Putih mendorong orang itu pada punggungnya, sehingga orang itu terpelanting menimpa seorang kawannya, sehingga kedua-duanya jatuh terguling. Namun yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang sengit. Beberapa orang pedagang telah berkelahi melawan Glagah Putih. Sedangkan beberapa orang yang lain masih sedang merawat kawannya yang terluka, yang terbaring di pendapa banjar. Tetapi demikian perkelahian itu terjadi, maka mereka pun segera bangkit dan melangkah menuruni tangga pendapa. Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah mengikat peti kecilnya dengan selendangnya, dan kemudian melilitkan selendang itu di tubuhnya seperti seorang yang sedang menggendong bayi dipunggungnya. Mengikat kedua ujung selendang di dadanya, dan siap untuk melibatkan diri jika diperlukan. Sementara itu, Glagah Putih telah bertempur melawan beberapa orang pedagang yang marah. Mereka ingin menangkap Glagah Putih, membuatnya jera dan melemparkan keluar padukuhan. Namun ternyata usaha mereka tidak terlalu mudah. Glagah Putih pun kemudian berloncatan seperti burung sikatan memburu belalang di rerumputan. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih benar-benar telah tersinggung oleh sikap para pedagang dan saudagar yang pada umumnya adalah orang-orang berada itu. Mereka sampai hati mencari keselamatan dengan menginjak ketenangan hidup rakyat kecil di pedesaan. Karena itu, maka seperti para pedagang yang ingin membuat Glagah Putih menjadi jera, maka Glagah Putih pun ingin membuat mereka menjadi jera. Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Tubuhnya menjadi seringan kapas, sementara tenaganya menjadi semakin kuat, sekuat raksasa. Kemampuan Glagah Putih memang sangat mengejutkan bagi para pedagang itu. Baru saja mereka bertempur melawan sekelompok penyamun di bulak panjang. Bahkan mereka berhasil mengalahkan para penyamun itu, sehingga para penyamun itu berlari tunggang-langgang dengan meninggalkan beberapa orang korban. Sekarang, di banjar padukuhan ini, mereka hanya menghadapi seorang laki-laki yang masih terhitung muda. Namun rasa-rasanya mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kawan-kawan mereka yang belum terlibat langsung pun terkejut pula. Laki-laki muda itu berloncatan dengan garangnya. Sentuhan-sentuhan tangannya telah mendorong, dan bahkan melemparkan lawannya keluar dari arena. “Gila,” geram seorang pedagang, “ilmu apakah yang dimiliki orang itu?” Dengan demikian, maka para pedagang dan saudagar yang darahnya masih terasa panas setelah bertempur dengan para perampok itu, harus bertempur lagi menghadapi orang yang menyebut dirinya Wiguna. Seorang yang terluka oleh goresan pedang di pundaknya berteriak, “Biarlah aku membunuhnya! Di bulak itu aku sudah membunuh seorang di antara para perampok itu.” Ketika semua pedagang dan saudagar kecuali yang terluka parah itu mulai terjun ke arena, maka Rara Wulan tidak dapat tinggal diam. Ia tidak dapat membiarkan suaminya bertempur sendiri melawan para pedagang itu. Tetapi peti kecil itu memang akan dapat mengganggunya. Karena itu, maka ia pun mendekati Ki Jagabaya sambil berdesis, “Ki Jagabaya. Titip peti kecil ini.” “Apa isinya?” “Nyawaku dan nyawa suamiku. Karena itu, jangan jatuh ke tangan siapapun juga. Demikian peti itu dibuka, aku dan suamiku akan mati.” “Benar begitu?” “Ya. Jika Ki Jagabaya ingin membunuh kami, bukalah peti itu. Di dalamnya juga terdapat bayi kami.” “Kau masih juga sempat bercanda, Nyi.” “Aku tidak bercanda, Ki Jagabaya. Karena itu, hati-hatilah.” Ki Jagabaya menerima peti kecil itu dengan gemetar. Ia pun kemudian minta Ki Kamituwa berdiri di dekatnya untuk ikut menjaga peti itu. “Trima ada di sini, Ki Jagabaya.” “He?” “Aku akan memanggilnya. Ia memiliki sedikit kemampuan untuk ikut menjaga peti kecil ini.” Sejenak kemudian tiga orang anak muda berdiri di sekitar Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa untuk ikut menjaga peti kecil yang dititipkan oleh Rara Wulan. Untunglah para pedagang itu tidak memperhatikan peti kecil itu. Mereka lebih memperhatikan Rara Wulan yang menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya yang dipakainya di bawah kain panjangnya itu. “Aku ikut, Kakang,” kata Rara Wulan kemudian. Glagah Putih tidak mencegahnya. Lawannya memang cukup banyak. Jika ia harus bertempur sendiri, maka kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi di luar kendalinya. Namun seorang saudagar yang bertubuh gemuk menggeram, “Perempuan gila. Kau kira kami sedang bermain jamuran?” “Ya,” jawab Rara Wulan, “jamur balung pisah.” “Setan betina kau,” geram saudagar itu sambil meloncat menyerang. Ternyata keberadaan Rara Wulan di arena telah mengejutkan para pedagang itu pula. Bahkan mereka yang berdiri di luar arena pertempuran terkejut pula. Dengan loncatan-loncatannya yang cepat, maka dua orang lawannya telah terlempar dari arena. Seorang dapat dengan cepat bangkit berdiri, namun yang seorang masih harus menyeringai kesakitan, karena punggungnya menghantam tangga pendapa banjar. Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah mengacaukan perlawanan para pedagang dan saudagar yang baru saja mengalahkan sekelompok penyamun di bulak panjang. Setiap kali seorang di antara mereka terpelanting dengan kerasnya. Sedangkan yang lain harus mengerahkan kemampuannya untuk mengelakkan serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan itu. Tetapi dua orang laki-laki dan perempuan yang masih terhitung muda itu seakan-akan berada dimana-mana. Seakan-akan mereka menyerang dari segala arah. Sulit bagi para pedagang dan saudagar itu menghindar dari garis serangan mereka. Beberapa saat kemudian maka pertempuran menjadi semakin sengit, para pedagang dan saudagar itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun kedua orang suami istri itu ternyata memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari mereka. Seorang demi seorang para pedagang itu mengalami kesulitan. Mereka menjadi kesakitan serta tenaga mereka pun menjadi semakin lemah. Beberapa orang di antara mereka yang terpelanting jatuh, tidak segera dapat bangkit dan kembali memasuki arena. Namun tiba-tiba seorang di antara para pedagang itu mencabut senjatanya. Sebuah pedang yang lurus, panjang dan yang tajamnya ganda. “Kalian berdua harus pergi dari padukuhan ini, atau aku akan menyingkirkan kalian. Bahkan untuk selamanya.” Ternyata kawan-kawannya pun telah ikut-ikutan pula mencabut senjata mereka. Glagah Putih memberikan isyarat kepada Rara Wulan untuk meloncat surut mengambil jarak. “Tunggu, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jangan bermain-main dengan senjata kalian.” “Jika kau menjadi ketakutan, pergi. Masih ada kesempatan.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Kalian tahu, bahwa senjata adalah benda yang berbahaya.” “Aku akan membunuhmu jika kau masih saja keras kepala.” “Kalian harus menyadari, bahwa untuk melawan senjata kalian, maka kami pun akan bersenjata pula. Yang terjadi mungkin sekali di luar kendali. Dua orang kawanmu sudah terluka parah. Kalian sudah kebingungan untuk menitipkan mereka, bahkan dengan mengancam orang-orang kecil yang tidak tahu menahu persoalannya. Jika kalian sekarang bertempur dengan senjata, maka kawan-kawan kalian yang terluka akan segera bertambah.” “Aku ingin menyuapi mulutmu dengan pedang,” geram seorang yang bertubuh gemuk itu, “dengan demikian maka mulutmu akan bertambah besar. Pantas bagi orang yang sangat sombong seperti kau.” “Aku-lah yang sekedar memperingatkan kalian. Hentikan perlawanan kalian. Bawa pergi kawanmu yang terluka.” Tetapi para pedagang itu tidak menghiraukannya. Mereka justru telah bergeser mengambil jarak. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadari, bahwa ujung-ujung senjata itu akan dapat mengoyakkan pakaian mereka. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih pun segera mengurai ikat pinggangnya, sedang Rara Wulan memegang selendangnya pada kedua ujungnya dengan kedua tangannya. “Kami terpaksa mempergunakan senjata pula,” berkata Glagah Putih. Sekali lagi para pedagang itu terkejut melihat apa yang disebut senjata oleh kedua orang itu. Sehelai ikat pinggang dan sehelai selendang. Tetapi senjata-senjata yang mereka anggap aneh itu membuat jantung mereka berdebaran. “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “sekali lagi aku peringatkan. Hentikan perlawanan kalian dan bawa kedua orang kawanmu itu pergi.” Tetapi para pedagang itu tidak dapat menerima ancaman itu. Kemarahan dan harga diri yang berbaur membuat mereka sulit menghadapi kenyataan tentang kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Karena itu, maka orang yang bertubuh gemuk itu pun berteriak, “Berhati-hatilah. Jika kalian berdua mati, sama sekali bukan tanggung jawab kami.” Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Mereka pun kemudian berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan memutar senjata mereka. Sejenak kemudian pertempuran telah berkobar lagi di halaman banjar. Bukan saja serangan tangan dan kaki yang terayun menyambar-nyambar. Tetapi berbagai macam senjata telah berputaran, terayun mendatar menebas dan menikam dengan garangnya. Namun tidak seorang pun di antara para pedagang itu yang berhasil menggoreskan senjatanya. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berloncatan di antara kilatan senjata lawan-lawan mereka. Ki Jagabaya, Ki Kamituwa dan orang-orang yang semakin banyak berkerumun di banjar padukuhan itu menjadi semakin berdebar-debar, bahkan sekali-sekali jantung mereka rasanya telah berhenti berdetak. Mereka sangat mencemaskan kedua orang laki-laki dan perempuan yang dengan tangkasnya berloncatan di antara ayunan senjata itu. Tetapi yang terjadi justru tidak segera dapat dimengerti, bukan saja oleh orang-orang yang berdiri di luar arena, tetapi juga oleh mereka yang sedang bertempur itu. Ikat pinggang yang berada di tangan orang yang menyebut dirinya Wiguna itu, telah membentur senjata-senjata para pedagang itu sebagaimana sepotong besi baja. Bahkan beberapa orang di antara mereka telapak tangannya menjadi pedih, sehingga dengan susah payah mereka harus mempertahankan senjata mereka agar tidak terlepas dari tangan. Meskipun demikian, apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Tiba-tiba saja sebuah pedang terlempar dari genggaman. Kemudian disusul sebuah luwuk yang berwarna hitam kehijau-hijauan. Belum lagi kedua orang yang kehilangan senjata itu sempat memungutnya, terdengar seseorang berteriak marah sekali. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, dengan susah payah berusaha untuk bangkit berdiri. Adalah di luar kemampuannya untuk menghindar ketika selendang Rara Wulan membelit kakinya. Ketika selendang itu dihentakkan oleh Rara Wulan, maka orang itu pun terpelanting, jatuh dan terseret beberapa langkah. Kemarahan bagaikan meledakkan jantungnya. Sambil berteriak orang itu bangkit berdiri. Tanpa berpikir panjang orang itu segera meloncat menyerang Rara Wulan dengan pedang terayun menebas ke arah leher. Rara Wulan sempat merendah sehingga pedang itu terayun di atas kepalanya. Namun sekejap kemudian, selendang Rara Wulan telah memijit tangan orang itu. Ketika Rara Wulan menariknya sendal pancing, maka pedang itu bagaikan meloncat dari tangannya, melenting di udara. Hampir saja pedang itu jatuh menimpa seorang kawannya. Untunglah orang itu sempat mengelak. Tetapi pemilik pedang itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Rara Wulan telah menjulurkan selendangnya. Hentakan yang keras sekali telah mengenai dada orang bertubuh tinggi itu. Dengan kerasnya ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, orang itu pun terjatuh terlentang. Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka dadanya terasa menjadi sangat sakit dan nafasnya menjadi sesak. Karena itu, demikian ia mencoba untuk berdiri, maka ia pun telah terduduk kembali. Orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali duduk, dan berusaha untuk mengatur pernafasannya serta berusaha mengatasi rasa sakit di dadanya. Sementara itu, pertempuran masih berlangsung. Selendang Rara Wulan berputaran menyambar-nyambar. Setiap kali satu dua orang lawannya terlempar dari arena. Beberapa pucuk senjata pun terlepas dari tangan pemiliknya. Dalam pada itu, lawan Glagah Putih pun menjadi semakin berkurang. Seorang bagaikan menjadi lumpuh ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai pahanya. Glagah Putih sengaja tidak mempergunakan ikat pinggangnya untuk mengoyak tubuh lawannya. Tetapi dipergunakannya sekedar untuk menyakiti mereka. Beberapa saat kemudian, lawan-lawan Glagah Putih dan Rara Wulan pun semakin menyusut. Bahkan kemudian beberapa orang yang tersisa telah berloncatan menjauhinya. “Katakan bahwa kalian menyerah!” teriak Glagah Putih. “Jika tidak, maka kami akan memperlakukan kalian lebih buruk lagi.” Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang di antara mereka telah kehilangan sejata mereka. Yang lain merasa bahwa tulang-tulang mereka pun bagaikan menjadi retak. Yang lain, wajahnya menjadi lebam kebiru-biruan. Sedangkan yang lain lagi menjadi timpang karena sentuhan ikat pinggang Glagah Putih pada pahanya. Sementara itu, ada yang merasa seolah-olah sendi di pergelangan tangan kakinya terlepas, sehingga pergelangannya menjadi sakit sekali. Bahkan agak membengkak. “Jawab!”teriak Glagah Putih pula. Namun agaknya harga diri para pedagang dan saudagar itu mencegah mereka untuk menyatakan diri menyerah. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata lantang kepada Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah darinya, “Miyat. Ternyata mereka tidak mau menyerah. Karena itu, maka sekarang kita berhak untuk membunuh mereka. Bukan kita yang pertama-tama mempergunakan senjata Tetapi mereka.” “Baik, Kakang,” jawab Rara Wulan tidak kalah lantangnya. “Kematian di antara mereka bukan salah kita. Kita sudah memberi kesempatan kepada mereka untuk menyerah. Tetapi mereka telah menolak.” Ketika kemudian Rara Wulan memutar selendangnya, maka terdengar suara selendangnya bagaikan angin yang menderu. “Tunggu! Tunggu!” teriak seorang di antara para pedagang itu, “Aku menyerah.” Suasana pun menjadi sangat tegang. Pedagang yang bersenjata pedang itu telah melemparkan senjatanya di tanah. Seorang yang lain, yang sudah tidak bersenjata pun kemudian berkata pula, “Aku juga menyerah. Aku sudah tidak bersenjata.” Ternyata kawan-kawannya pun telah mengikutinya pula. Yang masih bersenjata telah melemparkan senjatanya. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berkata, “Ambil senjata–senjata kalian. Segera bersiap meninggalkan tempat ini. Bawa kawanmu yang dilukai oleh para perampok itu.” “Baik. Baik, Wiguna. Kami akan segera pergi dengan membawa kawan-kawanku yang terluka.” “Dengar, Ki Sanak. Bukannya kami tidak mau menolong sesama. Jika kami minta kalian pergi dengan membawa kawan-kawanmu yang terluka, justru kami mempunyai pertimbangan atas dasar kemanusiaan. Jika kawan kalian tetap di sini, maka para perampok itu tentu akan menemukannya. Sebaliknya, jika orang-orang pedesaan ini harus melindunginya, maka korbanya akan menjadi jauh lebih banyak. Dan itu sama kali tidak adil, bahwa orang-orang kecil dan miskin harus mengorbankan diri untuk kepentingan orang-orang kaya seperti kalian. Karena itu, bawa kawan-kawan kalian. Selamatkan mereka dari tangan para perampok itu. Tetapi seorang di antara para pedagang itu berkata, “Bukankah kau memiliki kelebihan yang tidak tertandingi? Jika para perampok itu datang kemari, kau akan dapat menghalaunya.” “Aku seorang pengembara,” jawab Glagah Putih, “sebentar lagi aku akan meneruskan pengembaraan kami. Kami tidak dapat terikat di satu tempat. karena kami memang sedang menjalani laku. Jika para perampok itu datang sepeninggalku, maka kawanmu yang terluka itu tidak akan tertolong lagi.” Para pedagang itu pun mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah. Kami akan segera mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Tetapi beberapa orang kawan kami justru mengalami kesakitan.” “Aku sudah memperingatkannya. Untunglah bahwa tidak ada kawan kalian yang terbunuh.” Para pedagang itu pun terdiam. Mereka pun segera berbenah diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka harus menuruti pendapat orang yang menyebut dirinya bernama Wiguna itu. Namun sebagian dari mereka benar-benar dapat mengerti maksud Glagah Putih. Mereka pun membenarkan, bahwa tidak adil untuk mengorbankan orang-orang miskin bagi kepentingan mereka. Mereka memang tidak berhak mementingkan kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempedulikan rakyat miskin yang akan dapat menjadi korban. Mati dalam kesia-siaan bagi kepentingan orang-orang kaya. Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu pun sudah siap untuk meneruskan perjalanan. Namun keadaan mereka menjadi semakin sulit. Beberapa orang masih merasakan kesakitan. Tetapi mereka harus meninggalkan padukuhan itu dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu sudah siap untuk meninggalkan banjar. Kawan-kawan mereka yang terluka telah mereka dudukkan di atas punggung kuda. “Maaf, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kepada mereka yang terluka parah itu, “aku mencemaskan nasib kalian, jika kalian tetap berada di padukuhan ini. Padukuhan ini masih terlalu dekat dengan daerah perburuan para perampok itu. Jika kalian dibawa ke tempat yang lebih jauh, maka agaknya para perampok itu tidak akan mencarinya sampai ke sana Sementara itu kalian masih harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebelum kalian menyeberang Kali Praga. Mungkin esok. Mungkin esok lusa. Mungkin kalian akan bertemu lagi dengan gerombolan penyamun yang lain.” Seorang yang rambutnya sudah ubanan mewakili kawan-kawan mereka, minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Orang yang rambutnya ubanan itu sempat pula minta maaf atas sikap mereka yang kasar. “Kami mengira bahwa kami dapat memerintahkan apa saja kepada orang-orang miskin, termasuk mengorbankan diri mereka. Pengalaman kami ini akan dapat membangunkan kami dari mimpi-mimpi kami itu.” “Baiklah. Mudah-mudahan kalian tidak tertidur dan bermimpi lagi. Karena keadaan yang berubah akan dapat merubah sikap kalian. Jika kalian pulang ke rumah kalian, maka kehidupan kalian sehari-hari yang serba berlebihan akan dapat membangunkan mimpi-mimpi kalian lagi. Kalian akan merasa bahwa uang adalah segala-galanya. Bahkan dengan uang, kalian akan dapat membeli harga diri seseorang, dan lebih dari itu, nyawa seseorang.” “Kami akan selalu mengingatnya.” “Ingat, Ki Sanak. Kami berdua adalah pengembara. Jika kalian kembali kepada cara hidup kalian, maka kami berharap bahwa pengembaraan kami akan sampai juga ke rumah-rumah kalian. Meskipun rumah kalian dijaga oleh orang-orang upahan yang berilmu tinggi, namun kami akan menembus dinding halaman rumah kalian.” Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi ada juga di antara para pedagang itu yang tidak senang mendengar ancaman itu. Namun mereka menganggap bahwa orang yang menamakan diri Wiguna itu bersungguh-sungguh. Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan itu pun meninggalkan banjar padukuhan. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri jalan bulak menuju ke padukuhan yang lebih jauh, untuk menitipkan kawan-kawan mereka yang terluka. Tetapi sikap mereka pun memang telah berubah. Mereka tidak lagi memperlakukan orang-orang kecil di pedesaan sebagai budak-budak yang harus patuh tanpa syarat. Di padukuhan yang mereka tinggalkan, Ki Jagabaya dan para bebahu yang kemudian berada di banjar, mengucapkan terima kasih kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil mengembalikan peti kecil yang dititipkan kepadanya, Ki Jagabaya berkata, “Aku tidak membuka peti itu.” “Tentu,” jawab Rara Wulan, “jika Ki Jagabaya membukanya, maka nyawa kami sudah terbang. Bayi kami yang kami simpan di dalam nyapun sudah terbang pula.” “Tetapi apakah sebenarnya isi peti itu?” bertanya Ki Jagabaya. Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Bukankah sudah aku beritahukan kepada Ki Jagabaya?” “Dalam keadaan yang gawat itu pun Nyai masih sempat bercanda. Sementara itu, kecemasanku sudah membakar ubun-ubun.” Glagah Putih tertawa pula. Katanya, “Isinya sangat berharga bagi kami berdua, sehingga istriku menyebutnya bahwa isinya adalah nyawa-nyawa kami.” Ki Jagabaya itu pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Alangkah bodohnya aku ini. Aku mengira bahwa istrimu sekedar bercanda, atau kalau tidak, justru di dalam peti itu benar-benar terdapat nyawa kalian.” Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Nah, Ki Sanak. Sekarang kami pun akan minta diri. Mudah-mudahan sepeninggal kami tidak akan terjadi apa-apa di padukuhan ini. Jika para perampok itu datang, katakan bahwa kalian telah mengusir para pedagang itu.” “Kenapa kalian berdua begitu tergesa-gesa? Kalian dapat tinggal di sini barang sepekan.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Kami masih harus menempuh perjalanan panjang.” “Justru karena itu, bukankah kalian tidak terikat oleh waktu? Bukankah kalian tidak dibatasi, kapan kalian harus sampai di tempat tertentu?” “Benar, Ki Jagabaya. Tetapi waktu menjadi sangat berharga bagiku.” “Di mana malam nanti kalian akan bermalam?” bertanya Ki Jagabaya. Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun sebelum ia menjawab, Ki Jagabaya pun berkata, “Bermalamlah di sini, setidaknya untuk malam ini saja. Jika para perampok itu datang, kami tidak menghadapinya sendiri.” “Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Bukankah para pedagang yang terluka itu tidak ada di sini?” “Meskipun demikian, rasa-rasanya hati kami akan lebih tentram jika kalian berada di sini. Syukur jika para perampok itu tidak datang kemari.” “Jika mereka datang, tentu tidak malam ini. Mereka tentu masih sibuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah terbunuh. Selain itu, tentu mereka pun akan sulit mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lain, yang sama tatarannya dengan kawan-kawan mereka yang telah dikalahkan oleh para pedagang itu.” Tetapi Ki Jagabaya itu masih juga berkata, “Aku mengerti. Tetapi keberadaan kalian malam ini di sini, akan sangat berpengaruh terhadap ketentraman hati kami penghuni padukuhan ini.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, “Apakah kita akan bermalam di sini?” “Tidak apa-apa, Kakang. Perjalanan kita hanya akan tertunda tidak sampai sehari.” “Baiklah,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya kepada Ki Jagabaya, “Kami akan menerima kesempatan yang Ki Jagabaya berikan untuk bermalam di padukuhan ini nanti malam.” “Terima kasih, Ki Sanak. Malam nanti kalian berdua akan kami persilahkan bermalam di rumahku saja.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi biarlah aku bermalam di banjar ini saja.” “Di sini tidak ada yang akan melayani jika kalian haus dan apalagi lapar.” “Tidak apa-apa, Ki Jagabaya. Bahwa kami mendapat tempat untuk bermalam, kami sudah merasa sangat berterima kasih.” Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun Ki Kamituwa pun berkata, “Biarlah aku yang nanti menyediakan minum dan makan bagi mereka berdua.” “Jangan merepotkan, Ki Kamituwa. Kami hanya berdua. Kami tidak memerlukan pelayanan. Kami dapat merebus air sendiri di banjar ini. Mungkin di sini ada serba sedikit alat-alat dapur.” “Itu tidak perlu, Ki Wiguna. Kami-lah yang minta kalian berdua bermalam.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Sementara itu, Ki Jagabaya pun telah memerintahkan penunggu banjar untuk membersihkan sebuah bilik di serambi belakang banjar itu. Beberapa saat kemudian, setelah bilik bagi Glagah Putih dan Rara Wulan disiapkan, maka para bebahu serta beberapa orang yang masih berada di banjar pun meninggalkan banjar itu, pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun orang se-padukuhan itu masih saja membicarakan kelebihan dua orang suami istri yang bermalam di banjar itu. Mereka berdua saja dapat mengalahkan sekelompok pedagang yang telah mengalahkan gerombolan penyamun yang akan merampok mereka di bulak panjang. “Luar biasa. Yang terjadi di banjar itu tidak dapat masuk di akalku,” berkata seorang di antara mereka yang sempat menyaksikan pertempuran di banjar. “Apalagi kita. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa pun nampaknya terheran-heran pula.” “Jika gerombolan perampok itu malam ini datang ke padukuhan kita, maka mereka akan dihancurkan oleh kedua orang suami istri itu.” “Tetapi menurut mereka, rasa-rasanya perampok itu tidak mungkin datang hari ini atau malam nanti. Mereka terlalu sibuk. Sedangkan untuk mengumpulkan orang-orang baru, mereka tentu memerlukan waktu.” Kawannya pun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat penghormatan khusus. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa bersama beberapa orang bebahu yang lain telah datang ke banjar untuk sekedar berbincang. Sementara itu hidangan pun justru datang dari Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa. Namun Ki Jagabaya tetap berhati-hati. Diperintahkannya beberapa orang anak muda untuk mengamati keadaan, jika saja ada segerombolan perampok yang datang. Tetapi sampai jauh malam, tidak seorang pun datang ke padukuhan itu. Yang kemudian justru datang adalah Ki Demang dengan beberapa orang pengiringnya. “Siapa yang bermalam di banjar ini?” bertanya Ki Demang. “Dua orang suami istri yang telah membantu kita, Ki Demang.” “Membantu apa?” “Bukankah aku sudah memberikan laporan kepada Ki Demang lewat Ki Kebayan?” “Laporan apa?” “Ki Kebayan,” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Kebayan, yang kebetulan juga ada di banjar itu, “bukankah Ki Kebayan sudah lapor kepada Ki Demang?” “Sudah. Aku sudah datang kepada Ki Demang sesaat menjelang senja. Ki Demang berkenan menerima aku sebentar. Laporanku memang belum tuntas. Tetapi Ki Demang waktu itu akan mempunyai keperluan lain, sehingga aku dimintanya meninggalkan rumah Ki Demang. Tetapi pokok-pokok persoalannya sudah aku laporkan.” “Kau tidak mengatakan bahwa ada orang bermalam di banjar malam ini,” sahut Ki Demang. “Memang belum sempat. Ki Demang cepat-cepat minta aku pergi pada waktu itu.” “Persetan kau, Ki Kebayan,” geram Ki Demang. Lalu ia bertanya, “Nah, sekarang aku ingin berbicara dengan orang yang bermalam di banjar ini.” “Kami berdua yang malam ini bermalam di banjar ini, Ki Demang,” sahut Glagah Putih. “Kau-kah yang telah mengusir para pedagang itu?” “Bukannya mengusir, Ki Demang. Tetapi aku sependapat dengan Ki Jagabaya. Jika mereka bermalam di sini, maka akibatnya akan buruk sekali bagi kademangan, khususnya padukuhan ini. Selain itu ada di antara para pedagang itu yang terluka. Jika yang terluka itu disembunyikannya di padukuhan ini, maka kemungkinan terbesar, orang-orang yang terluka itu dapat diketemukan. Ki Demang tentu tahu akibatnya jika orang yang terluka itu diketemukan oleh segerombolan perampok, yang tadi siang telah dikalahkan dan bahkan hampir saja dihancurkan oleh para pedagang itu.” “Itu urusan kami. Bukan urusanmu.” “Memang, Ki Demang. Itu urusan kita. Karena Ki Demang menyerahkan persoalannya kepadaku, maka aku-lah yang menanganinya. Kedua orang suami istri ini ternyata bersedia membantu aku,” sahut Ki Jagabaya. “Tetapi keduanya telah mengacaukan hubungan kita dengan para pedagang itu.” “Hubungan kita dengan mereka memang sudah tidak baik, Ki Demang. Mereka tidak pernah menghiraukan kita selama ini. Mereka hanya lewat saja meninggalkan debu yang dihamburkan di belakang kaki kuda mereka. Tetapi mereka tidak pernah menjadi sumber penghasilan bagi rakyat kita. Tetapi kita tidak pernah mengganggunya. Kita berbuat baik terhadap mereka. Tetapi jika kemudian mereka menitipkan orang-orang yang terluka, bahkan dengan ancaman bahwa kita harus melindungi orang-orang yang terluka, mm… maka kita harus berpikir dua tiga kali.” “Kenapa? Apakah tidak pantas bagi kita untuk menolong sesama?” “Bukannya kita tidak mau menolong sesama. Tetapi bukankah dengan demikian, para pedagang itu sudah menyurukkan kepala kami ke mulut srigala yang lapar? Sedangkan jika kami, setelah mengorbankan beberapa orang, masih juga tidak berhasil melindungi kawan-kawan saudagar itu yang terluka, maka kami akan menjadi tumpahan kesalahan. Mungkin mereka akan menghukum kami, sehingga kami harus mengorbankan lagi beberapa orang kami. Orang-orang miskin yang tidak tahu menahu persoalannya?” “Kenapa hanya kalian? Bukankah aku Demang di sini?” “Tetapi Ki Demang tidak memahami persoalannya. Kami-lah yang tahu benar, apa yang akan terjadi.” “Kau sisihkan aku dari antara bebahu kademangan ini, justru aku adalah Demangnya?” “Bukan tentang bebahu. Tetapi tentang siapa yang mengerti akan persoalan yang sedang dihadapi.” “Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi. Tetapi aku tidak mau banjar ini menjadi seakan-akan penginapan. Apalagi bagi orang-orang yang mempunyai persoalan di kademangan ini.” “Aku-lah yang minta mereka menginap,” sahut Ki Jagabaya. “Sebenarnya mereka sudah akan berangkat untuk melanjutkan perjalanan, tetapi aku menahan agar mereka bersedia bermalam semalam saja. Jika malam ini para perampok itu datang, maka kami tidak hanya akan menghadapinya sendiri.” Ki Demang memandang Ki Jagabaya dengan tajamnya. Sementara Ki Kamituwa pun berkata, “Aku juga minta mereka bermalam malam ini di banjar.” “Kalian telah berbuat menurut kehendak kalian sendiri, tanpa minta persetujuanku.” “Ketika aku datang melapor ke rumah Ki Demang,” sahut Ki Kebayan, “sebenarnya aku juga ingin melaporkan tentang kedua orang suami istri yang akan menginap di banjar. Tetapi Ki Demang tidak memberi waktu kepadaku.” “Kalian hanya dapat menyalahkan aku. Ingat, bahwa aku Demang di sini.” Tetapi Ki Kebayan itu masih juga menjawab, “Kami tidak ingin menyalahkan Ki Demang. Tetapi kami sekedar mengatakan apa yang telah terjadi, dan apa yang telah Ki Demang lakukan.” Ki Demang itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada kedua pengawalnya, “Marilah kita pergi.” Tanpa mengatakan sesuatu lagi kepada para bebahu yang ada di banjar, maka Ki Demang pun kemudian meninggalkan tempat itu. Para bebahu hanya dapat saling berpandangan. Namun, demikian Ki Demang itu hilang di balik pintu regol halaman banjar, maka Ki Jagabaya pun berdesis, “Aku semakin tidak mengerti kemauan Ki Demang.” “Ya,” sahut Ki Kamituwa, “sikapnya semakin aneh.” “Agaknya ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikapnya itu,” berkata Ki Kebayan. Tetapi para bebahu itu tidak dapat menebak, apa sebenarnya yang tersembunyi di balik sikap Ki Demang. Kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Jagabaya pun berkata, “Kami mohon maaf atas sikap Ki Demang. Kami memang sulit untuk mengerti sikapnya. Agaknya ia ingin menyembunyikan kelemahannya.” “Ya. Ki Demang adalah seorang yang lemah dan malas. Karena itu, agaknya Ki Demang ingin menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa di kademangan ini,” sahut Ki Kebayan. “Mungkin. Memang satu kemungkinan,” desis Ki Jagabaya. “Tetapi sudahlah. Jangan pikirkan lagi. Keberadaan Ki Wiguna berdua di banjar ini adalah atas tanggunganku. Jika Ki Demang masih ingin mempersoalkan lagi, biarlah aku yang mempertanggungjawabkan.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Mudah-mudahan keberadaanku di sini tidak mempengaruhi, apalagi memperburuk, hubungan Ki Demang dengan para bebahu. Bukankah Ki Demang dan para bebahu masih akan selalu terikat dalam kerja sama yang panjang?” Para bebahu itu mengangguk-angguk. Malam itu ternyata para bebahu berada di banjar sampai lewat tengah malam. Ketika mereka meninggalkan banjar, beberapa orang anak muda masih tetap berada di banjar. “Silahkan beristirahat, Ki Wiguna,” berkata seorang anak muda kepada Glagah Putih. “Terima kasih,” jawab Glagah Putih. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian masuk ke dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka. Namun dalam keadaan yang masih terasa belum mapan itu, keduanya tidak tidur berbareng. Mereka telah membagi sisa malam itu untuk bergantian berjaga jaga. “Aku tidur dahulu,” berkata Rara Wulan. “Baiklah,” jawab Glagah Putih. “Nanti, setelah ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, gantian Kakang yang berjaga-jaga.” “Baiklah.” Tetapi dengan cepat Glagah Putih itu bertanya, “Bagaimana?” “Sekarang aku tidur, nanti Kakang yang berjaga-jaga.” “Marilah kita meneruskan perjalanan sekarang saja,” berkata Glagah Putih kemudian. Rara Wulan tertawa tertahan sambil membaringkan tubuhnya di pembaringan bambu yang ada di bilik itu. Glagah Putih pun tertawa pula sambil berdesis, “Setelah menjalani laku yang berat, ternyata kau juga bertambah pandai.” Rara Wulan masih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Di dini hari, keduanya pun telah pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih menimba air untuk mengisi jambangan. Baru kemudian Glagah Putih pun mandi pula. Air yang dingin terasa menyegarkan tubuh mereka. Sebelum matahari terbit, keduanya pun telah bersiap untuk meninggalkan padukuhan itu. Ternyata para perampok benar-benar tidak datang semalam. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, mereka tentu tidak dapat mengumpulkan kawan-kawan baru dalam waktu yang dekat setelah mereka dikalahkan oleh sekelompok pedagang yang lewat, yang ternyata mempunyai kekuatan lebih besar dari kekuatan segerombolan perampok itu. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri kepada penunggu banjar itu, ternyata Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa telah datang pula ke banjar. “Sepagi ini Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa harus sudah bangun,” berkata Glagah Putih. “Aku sudah terbiasa bangun pagi,” jawab Ki Jagabaya. “Kami memang sudah menduga bahwa kalian berdua akan berangkat pagi-pagi sekali, sehingga kami pun harus berada di banjar sebelum matahari terbit.” “Kami minta diri,” berkata Glagah Putih kemudian. “Sebenarnyalah kami ingin mencoba minta agar kalian tidak pergi hari ini.” “Maaf, Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih, “kami harus mempergunakan waktu kami sebaik-baiknya, meskipun kami tidak dibatasi oleh waktu. Jika kami harus menunda-nunda perjalanan kami, maka laku yang harus kami jalani tidak akan dapat kami selesaikan seluruhnya.” “Bukankah tidak ada batasan hari, bulan dan tahun, kapan laku yang harus kalian jalani itu selesai?” “Kami tidak tahu, seberapa panjang waktu itu dikaruniakan kepada kami. Jika kami menyia-nyiakan waktu, dan tiba-tiba waktu yang dikaruniakan kepada kami itu diambil-Nya kembali, maka kami hanya akan dapat menyesalinya.” Ki Jagabaya mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Jika Ki Wiguna berdua harus meninggalkan kademangan kami, maka sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap bahwa pada kesempatan lain, kalian berdua dapat singgah lagi di kademangan ini.” “Kami akan berusaha, Ki Jagabaya. Jika kami kembali dari pengembaraan kami, maka kami akan berusaha untuk singgah.” Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan banjar. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa melepas Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke gerbang padukuhan. Sejenak kemudian maka keduanya pun telah memasuki bulak panjang yang seakan-akan membentang sampai ke cakrawala. Pagi itu langit nampak bersih. Embun masih nampak bergayut di ujung dedaunan. Kicau burung-burung liar terdengar di pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan. Lamat-lamat di kejauhan nampak padukuhan yang seakan-akan mencuat dari hijaunya tanaman di sawah. Beberapa orang sudah nampak mulai menuruni sawah mereka untuk membersihkan rerumputan liar di sela-sela tanaman yang hijau. Di perjalanan yang semakin jauh meninggalkan padukuhan itu, Rara Wulan pun bertanya, “Kakang. Kenapa sikap Ki Demang itu terasa aneh?” “Satu di antara beberapa kemungkinan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa, bahwa Ki Demang yang lemah itu ingin menunjukkan kuasanya.” “Tetapi bukankah akibatnya justru sebaliknya?” “Ya. Tetapi ada kemungkinan lain.” “Ki Demang itu berhubungan secara rahasia dengan para pedagang. Mungkin para pedagang itu telah menyuapnya.” “Tetapi ia tidak berbuat apa-apa bagi para pedagang itu.” “Setidak-tidaknya ia tidak mengusir para pedagang itu. Bukankah Ki Demang itu mengatakan bahwa dengan demikian hubungan mereka dengan para pedagang akan menjadi buruk?” “Aku justru berpendapat lain,” berkata Glagah Putih, “Ki Demang telah membuat hubungan rahasia dengan para perampok. Ki Demang tidak berusaha membangun lingkungannya untuk mempertahankan haknya. Jika ia berniat untuk membiarkan para pedagang itu menitipkan kawan-kawan pedagang yang terluka, justru bagi kepentingan para perampok yang akan datang untuk membalas dendam.” “Kenapa Kakang tidak mengatakan kemungkinan ini kepada Ki Jagabaya?” “Bukankah kita tidak meyakini kebenarannya? Kita hanya menduga-duga. Mungkin benar, tetapi mungkin tidak.” Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Jika kita menyatakan dugaan kita kepada Ki Jagabaya, namun ternyata bahwa dugaan kita salah, maka kita hanya akan menambah ketegangan yang terjadi di kademangan itu.” Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Tetapi langkah mereka pun terhenti ketika dari balik segerumbul perdu di simpang tiga, beberapa orang muncul, langsung berdiri di tengah jalan. Seorang di antara mereka adalah Ki Demang. Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut, sehingga terasa jantung mereka berdebaran. “Apa lagi yang dimaui oleh Ki Demang,” desis Glagah Putih. Rara Wulan yang membawa peti kecilnya, mengikatnya dengan selendangnya erat-erat. “Ki Sanak,” berkata Ki Demang yang melangkah mendekatinya, “aku tahu ilmumu sangat tinggi. Karena itu, aku tidak akan mengganggumu sekarang. Tetapi aku ingin memperingatkanmu, jangan mencampuri urusan orang lain. Jalan yang kau tempuh adalah jalan yang sangat rawan. Para perampok dan penyamun dapat muncul setiap saat dari sarangnya. Tiba-tiba saja mereka menyergap. Kalian berdua memang tidak akan merasa ketakutan karena ilmu kalian sangat tinggi. Tetapi sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam setiap benturan kekerasan yang terjadi. Karena jika kalian melibatkan diri, maka pada suatu ketika kalian akan bermusuhan dengan seluruh kekuatan para perampok dan penyamun di daerah ini, sampai di seberang Kali Praga.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Ki Demang. Kenapa Ki Demang memperingatkan aku agar aku tidak melibatkan diri? Bukankah itu kewajiban setiap orang untuk memberantas kejahatan menurut kemampuannya? Jika aku tidak mampu melakukannya, maka aku pun tidak akan melakukannya. Tetapi jika aku mampu, kenapa harus dicegah?” “Seberapapun tinggi ilmu kalian berdua, tetapi kalian tidak akan dapat menghadapi seluruh kekuatan para perampok dan penyamun yang tersebar di daerah ini.” “Mereka tidak akan menghimpun kekuatan bersama, Ki Demang. Ki Demang tentu mengetahui pula, bahwa sebenarnyalah mereka pun selalu bersaing. Mereka akan berebut ladang yang paling subur. Karena itu, maka mereka selalu terpecah-pecah seperti yang Ki Demang lihat sekarang ini. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi pertarungan di antara mereka.” “Memang hal itu dapat saja terjadi. Tetapi untuk menghadapi kekuatan dari luar, maka mereka akan dapat bersatu.” “Jika mereka dapat bersatu, tentu sudah mereka lakukan Tetapi ternyata tidak. Mereka telah terbelah menjadi bagian-bagian kecil yang lemah.” “Jangan meremehkan mereka, Ki Sanak.” Glagah Putih memandang Ki Demang dengan tajamnya. Dengan nada berat Glagah Putih bertanya, “Apa hubungan Ki Demang dengan para perampok itu?” Pertanyaan itu mengejutkan Ki Demang. Namun kemudian iapun menjawab, “Pertanyaan yang bodoh. Kau tentu sudah tahu jawabnya. Tentu aku tidak berhubungan sama sekali dengan para perampok itu.” “Jadi bahwa Ki Demang memperingatkan agar aku jangan melibatkan diri melawan para perampok itu, hanya karena kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami berdua?” “Ya. Kalian masih terlalu muda untuk dicincang oleh para perampok itu.” “Terima kasih atas kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami. Tetapi kami mempunyai pertimbangan tersendiri. Kapan kami tidak ikut campur, dan kapan kami harus terjun langsung melawan para perampok itu.” “Ki Sanak. Kau harus tahu, bahwa gerombolan perampok dan penyamun bukannya hanya kelompok yang sudah dikalahkan oleh para pedagang yang tadi lewat. Tetapi masih ada gerombolan-gerombolan yang lain.” “Aku tahu. Mereka itulah yang aku maksudkan saling bersaing. Yang satu menghancurkan yang lain.” “Persetan kau, Ki Sanak. Terserah kepada kalian berdua. Jika nasib kalian menjadi sangat buruk, itu salah kalian sendiri.” “Baik. Ki Demang. Kami akan menanggung akibat dari perbuatan kami berdua.” “Jika demikian, terserah kepada kalian. Aku bermaksud baik. Tetapi jika kalian tidak mau mendengarkannya, maka di hari yang lain aku akan mendengar sepasang suami istri telah dibantai di tepian Kali Praga.” Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu Ki Demang pun memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk pergi. “Tunggu, Ki Demang,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku-lah yang sekarang justru memperingatkan Ki Demang. Ki Demang seharusnya yang berdiri di tempat kami sekarang ini. Seharusnya Ki Demang-lah yang berbuat sesuatu di seluruh kademangan, untuk melawan para perampok itu.” “Aku belum menjadi gila, Ki Sanak. Jika aku melakukannya, maka rakyatku akan dibantainya sampai orang terakhir.” “Berapa jumlah laki-laki di kademanganmu? Kau, dan tentu Ki Jagabaya, memiliki kemampuan untuk melatih anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki di kademanganmu.” “Sudah aku katakan, bahwa jumlah gerombolan itu cukup banyak. Mereka akan dapat datang bersama-sama ke kademanganku.” “Bukankah jumlah kademangan juga banyak? Kademangan-kademangan itu tentu akan bersedia saling membantu.” “Memang mudah dikatakan. Tetapi sulit dan bahkan tidak mungkin dilaksanakan.” “Ki Demang harus berani mencoba.” “Aku datang dengan maksud baik. Aku memperingatkan kalian demi keselamatan kalian. Sekarang justru kau yang menggurui aku.” “Bukan maksudku. Aku pun bermaksud baik.” Ki Demang tidak menjawab lagi. Tetapi Ki demang itu pun justru memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Glagah Putih pun tidak berbicara apa-apa lagi. Dibiarkannya Ki Demang itu pergi. Tetapi dugaannya bahwa Ki demang itu justru mempunyai hubungan rahasia dengan para perampok dan penyamun itu pun menjadi semakin tebal. “Agaknya dugaan Kakang benar,” desis Rara Wulan. “Akibatnya akan buruk sekali bagi rakyat di kademangannya. Lambat laun, jalan perdagangan itu pun benar-benar akan tersumbat, jika para perampok dan penyamun mempunyai hubungan rahasia dengan para penguasa di kademangan-kademangan.” “Apakah ada yang dapat kita lakukan?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita akan melihat lingkungan yang lain. Apakah suasananya sama dengan kademangan yang baru saja kita lewati.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi ada yang ingin aku bicarakan lagi, Kakang.” “Apa?” “Peti ini.” “Kita tinggalkan saja petinya. Kita bawa kitabnya. Tentu akan lebih mudah.” “Kita beli selendang di pasar yang dapat kita temui. Kita bungkus kitabnya, disembunyikan di bawah bajumu. Petinya dapat kita sembunyikan dimana saja.” “Kenapa harus disembunyikan? Tinggal saja dimana-mana.” “Sudah aku katakan. Aku senang peti itu. Ukirannya lembut sekali. Pada kesempatan lain, aku akan mencarinya.” “Baiklah. Nanti kita cari tempat untuk menyembunyikan peti itu.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka yakin bahwa mereka akan melewati sebuah pasar, besar atau kecil. Sebenarnyalah sebelum tengah hari, keduanya memang sampai ke sebuah pasar. Pasar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ada orang yang menggelar dagangan kain dan selendang lurik di dalam pasar itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun singgah di pasar itu. Mereka langsung menuju ke tempat penjualan kain lurik itu. Rara Wulan pun membeli selendang lurik berwarna gelap. “Bagaimana kita harus membawanya?” “Kita ikat kitab itu. Kemudian selendang itu kau lingkarkan di perutmu, di atas ikat pinggangmu. Bukankah tidak akan banyak mengganggu?” “Tetapi tentu akan nampak menonjol pada bajuku.” “Tidak seberapa. Kitab itu kau tempatkan di perutmu.” “Aku akan nampak sebagai seorang berperut besar. Bagaimana kalau kau saja yang membawanya?” “Aku akan kelihatan seperti orang yang sedang mengandung.” Glagah Putih tersenyum. Ketika kemudian mereka meninggalkan pasar itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita harus mencari jalan simpang. Kita akan pergi ke gumuk kecil itu.” “Gumuk kecil itu tentu agak jauh dari tempat ini.” “Ya. Kita memerlukan tempat terpencil untuk menyimpan petimu, dan mencoba-coba cara untuk membawa kitab itu.” Rara Wulan pun mengangguk. Sebenarnyalah mereka pun kemudian turun ke jalan simpang. Semakin lama semakin jauh, menuju ke sebuah gumuk kecil yang nampak kehijau-hijauan. Agaknya pada gumuk kecil itu terdapat hutan meskipun tidak begitu lebat. Tetapi semakin dekat, Glagah Putih pun kemudian berkata, “Bukan hutan. Aku melihat banyak pohon nyiur yang nampaknya sengaja ditanam di kaki gumuk itu berkeliling.” “Ya, Kakang. Tetapi gumuk itu terletak di seberang padang perdu yang jarang dilewati orang.” “Ada jalan setapak menuju ke gumuk itu.” “Ya.” “Kita akan melihat apakah gumuk itu ada penghuninya.” Keduanya pun kemudian sampai di batas tanah persawahan dengan padang perdu. Tetapi keduanya masih dapat mengikuti jalan setapak menuju ke gumuk itu. Sedang di belakang itu terdapat sebuah hutan yang memanjang. Semakin dekat mereka dengan gumuk itu, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka melihat tanda-tanda bahwa gumuk itu berpenghuni. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di kaki gumuk itu, mereka bertemu dengan seseorang yang berjalan dengan memikul beberapa buah bumbung legen. Agaknya orang itu baru saja nderes beberapa batang pohon kelapa. “Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih, “apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini?” Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu pun berhenti. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian nampak dengan sedikit ragu ia pun menjawab, “Ya. Aku tinggal di gumuk itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah ada orang lain yang tinggal di sana?” “Ya. Ada beberapa keluarga yang tinggal di gumuk itu.” Rara Wulan menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Jika demikian, biarlah kita melewati gumuk itu. Bukankah kita mencari tempat yang tidak pernah dijamah oleh tangan manusia? bersambung
360 PDF Document Dimension: 5.40 Mb: ePub Document Size: 20.76 Mb: ISBN: 767-3-38178-390-7: Downloads: 30597: Price: Free..Free of charge Regsitration Required: UpIoader: Api Di Bukit Menoreh: Jilid 1 - Buku 11 by Beds.L. Mintárdja. Anisá Briliant noted it as to-read January 05, Santh recollections rated it it had been amazing February
Category Archives Buku 361 – 370 Buku 361 Seri IV Jilid 61 ♦ 15 Juli 2010 “Tetapi kita sudah berada di sini. Mereka tentu akan mencurigai kita,” bisik Glagah Putih. Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami adalah dua orang suami istri yang sedang mengembara. Jika hari ini kami sampai di padukuhan Ki Sanak, maka kami berniat memperkenalkan diri kami. … Baca lebih lanjut → Buku 362 Seri IV Jilid 62 admin ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab, Ki Umbul Telu itu pun berkata pula, “Kami masih ingin juga mendapat petunjuk Angger berdua.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimana mungkin kami memberikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti.” “Gagasan-gagasan itulah yang … Baca lebih lanjut → Buku 363 Seri IV Jilid 63 admin ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku ingin bertemu dengan Ki Demang.” Anak itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia pun segera meninggalkan tempat itu. Katanya, “Maaf, Kang. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu di bendungan.” “Kau akan memancing ikan?” “Ya,” jawab anak itu sambil berlari-lari. “Mudah-mudahan Ki Demang tanggap, Rara,” desis Glagah Putih. Rara Wulan … Baca lebih lanjut → Buku 364 Seri IV Jilid 64 admin ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih yang telah bergeser menjauh itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan menjalani laku untuk menjadi kebal seperti Kakang Agung Sedayu.” Ketika Rara Wulan mendekat, Glagah Putih masih juga bergeser menjauh. Tetapi Rara Wulan pun kemudian berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu lagi.” Glagah Putih nampak ragu-ragu. Tetapi Rara Wulan memang tidak mencubitnya … Baca lebih lanjut → Buku 365 Seri IV Jilid 65 admin ♦ 15 Juli 2010 Namun Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berada di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu. Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu … Baca lebih lanjut → Buku 366 Seri IV Jilid 66 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Murdaka pun akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram ia pun bergumam, “Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat.” Dengan tangkasnya Ki Murdaka pun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak. Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu. Rara Wulan terkejut. Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Karena … Baca lebih lanjut → Buku 367 Seri IV Jilid 67 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan. Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu. Sementara itu dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah kehilangan kesempatan mereka. Senjata mereka telah terlepas dari tangan. Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan. “Sudah aku katakan,” … Baca lebih lanjut → Buku 368 Seri IV Jilid 68 admin ♦ 15 Juli 2010 Setelah beberapa saat tidak ada gerakan apa-apa di antara para prajurit Mataram, maka Raden Panengah pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk beristirahat kembali. Namun mereka diperintahkan untuk tetap berada di tempat mereka masing-masing. Mereka tidak perlu berkumpul lagi di gubug-gubug yang telah mereka bangun di ujung hutan itu. Tetapi justru karena itu, maka sebagian dari mereka … Baca lebih lanjut → Buku 369 Seri IV Jilid 69 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Apakah Nyai Demang akan memaksa kami menunggu kedatangan mereka?” “Ya. Kami akan memaksa Ki Lurah menunggu mereka datang.” “Jika sebelum mereka datang kami sudah pergi?” “Tidak. Tidak. Kalian tidak boleh pergi sekarang.” Ki Lurah Agung Sedayu melihat bahwa Nyai Demang itu sudah menjadi sangat kebingungan. Sejak racunnya gagal membunuh … Baca lebih lanjut → Buku 370 Seri IV Jilid 70 admin ♦ 15 Juli 2010 Namun prajurit yang telah tersinggung itu pun menggeram, “Tetapi sebaliknya jika kau gagal, maka kau akan terkubur di sini. Kau tidak akan pernah sampai ke Mataram.” Dahi perampok yang bertubuh tinggi itu berkerut. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengadu nasib melawan prajurit itu. Ia merasa sebagai seorang perampok, ia sudah banyak berpengalaman dalam dunia olah … Baca lebih lanjut → Navigasi pos
APIDI BUKIT MENOREH Ceritera Klasik Api di Bukit Menoreh karya S.H Mintardja. DAFTAR ISI Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest. Beranda. Langganan: Postingan (Atom) S1-E91 Kiai Jalawaja Tewas, Tombak Kiai Pleret Tercium Keberadaannya. ♦ 15 Juli 2010 Ki Murdaka pun akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram ia pun bergumam, “Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat.” Dengan tangkasnya Ki Murdaka pun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak. Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu. Rara Wulan terkejut. Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Karena itu, dengan cepat dikalungkannya selendangnya di lehernya, serta mempersiapkan diri menghadapi ilmu puncak lawannya yang belum diketahuinya seberapa tingginya. Dengan demikian, maka Rara Wulan tidak berani meremehkan lawannya, la tidak ingin hancur dalam benturan ilmu yang tidak akan dapat dielakkannya lagi. Sebenarnyalah Ki Murdaka telah memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh daya kemampuan ilmunya, Ki Murdaka itu telah melontarkan serangannya ke arah Rara Wulan. Seleret sinar kemerah-merahan telah meluncur dari telapak tangannya, mengarah ke dada Rara Wulan. Namun pada saat yang hampir bersamaan, Rara Wulan pun telah meluncurkan ilmu puncaknya pula. Ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara. Kedua kekuatan ilmu yang nggegirisi itu pun akhirnya saling berbenturan. Udara di halaman banjar itu pun telah terguncang. Glagah Putih dan Ki Saba Lintang yang sedang bertempur pun sempat berloncatan surut untuk mengambil jarak. Akibat dari benturan itu pun ternyata sangat mendebarkan jantung. Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Sejenak ia terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Rara Wulan itu pun jatuh pada lututnya. Untuk beberapa saat Rara Wulan berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun masih agak goyah, namun akhirnya Rara Wulan pun berhasil berdiri tegak. Sementara itu, ternyata Aji Namaskara benar-benar memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Kekuatan ilmu Ki Murdaka tidak mampu menembus kekuatan Aji Namaskara. Ki Murdaka tidak saja tergetar surut, tetapi Ki Murdaka telah terlempar beberapa langkah dan kemudian terbanting jatuh. Agaknya kekuatan serta daya tahannya benar-benar tidak mampu mengatasi getar kekuatan ilmu lawannya, yang meskipun telah tertahan dalam benturan dengan ilmunya sendiri, namun Aji Namaskara itu masih mampu menusuk sampai ke jantung. Tubuh Ki Murdaka memang tidak hancur lumat menjadi debu. Tubuhnya masih tampak utuh tergolek di halaman banjar. Namun nafas Ki Murdaka itu pun telah putus. Ki Sela Aji berlari ke arahnya. Ia pun segera berjongkok dan mencoba untuk mengangkat kepala Ki Murdaka. Namun Ki Murdaka itu telah tidak bernafas lagi. Ki Sela Aji menggeram. Tetapi ia pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Setinggi-tinggi ilmu Ki Sela Aji, masih belum setataran dengan ilmu Ki Murdaka. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak memandanginya dengan tajamnya. Wajahnya yang tegang nampak menantangnya. Perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan akibat dari benturan yang baru saja terjadi. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Demung Pugut pun mendekatinya. “Kau tidak akan dapat melawannya,” desis Ki Demung Pugut. “Bagaimana dengan Paman?” “Aku sudah menyelesaikan lawanku.” “Kita lawan perempuan itu berdua.” “Lihat keadaan Ki Saba Lintang. Nampaknya keadaan kita akan menjadi sulit.” “Aku telah membunuh banyak orang.” “Tetapi lawan Ki Saba Lintang itu adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Sementara perempuan itu telah menghentikan perlawanan Ki Murdaka.” “Jadi?” Sejenak keduanya termangu-mangu. Sementara Rara Wulan yang masih berdiri tegak itu pun sedang mengatur pernafasannya. Jika kedua orang itu siap melawannya, maka Rara Wulan harus mempergunakan sisa-sisa tenaganya. Benturan yang telah terjadi itu sangat mempengaruhinya. Tetapi Rara Wulan berhasil menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya setelah benturan itu terjadi. Meskipun demikian, jika terpaksa, ia masih akan sanggup bertempur melawan kedua orang itu. Sejenak suasana menjadi sangat tegang sepeninggal Ki Murdaka. Beberapa orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati yang masih bertahan, menjadi berdebar-debar pula. Dalam pada itu, Ki Panji Kukuh yang bertempur melawan Watu Kenari pun menjadi gelisah. Ia melihat Sutasuni tersungkur di tanah. Sementara itu, lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Dengan demikian maka harapan Ki Panji Kukuh tinggal suami istri yang mengaku bernama Nagagundala itu. Ketika Rara Wulan dapat menghentikan perlawanan Ki Murdaka, Ki Panji Kukuh pun bergumam, “Habislah cerita tentang Ki Saba Lintang.” “Bodoh kau,” geram Watu Kenari. “Orang itu bukan Ki Saba Lintang.” “Ia menyebut dirinya Ki Saba Lintang.” “Kau memang dungu,” geram Watu Kenari. Sementara itu, ia pun meningkatkan serangan-serangannya pula. Agaknya Watu Kenari pun menjadi tidak sabar lagi. Ia melihat Ki Saba Lintang yang sebenarnya juga mulai mengalami kesulitan. Meskipun tongkat baja putihnya berputaran menyambar-nyambar, namun agaknya senjata lawannya mampu mengimbangi kegarangan tongkat baja putih itu. Karena itu, maka Watu Kenari pun ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan cepat. “Jika aku berhasil, biarlah aku segera berhasil. Jika aku harus mati, biarlah aku tidak melihat Ki Saba Lintang mengalami tekanan yang tidak teratasi.” Dengan demikian, maka Watu Kenari pun segera meningkatkan ilmunya hingga ke puncaknya. Ki Panji Kukuh adalah seorang pemimpin dari sekelompok orang yang berada pada jalur perdagangan terlarang. Ki Panji Kukuh pun memiliki ilmu yang diandalkan pula. Karena itu, sejenak kemudian, maka keduanya telah siap dengan ilmu pamungkas mereka. Ketika masing-masing melontarkan serangan yang dilandasi dengan ilmu puncak mereka, maka dua percik sinar meluncur dari arah yang berlawanan. Benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Kedua ilmu yang tinggi yang berbenturan itu seakan-akan telah meledakkan halaman banjar. Udara pun bergetar. Dedaunan berguncang, sehingga daun-daun yang kuning pun telah runtuh berguguran. Ternyata ilmu Watu Kenari lebih tinggi selapis tipis dari ilmu Ki Panji Kukuh. Karena itu, maka Ki Panji Kukuh itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terhuyung-huyung sejenak. Kemudian Panji Kukuh itu pun terguling di tanah. Tiga orang pengikutnya dengan cepat berlarian mendekatinya. Seorang segera berjongkok di sampingnya. “Gila orang itu,” Ki Panji Kukuh menggeram. Namun dadanya terasa sangat sakit. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka seorang pengikutnya yang berjongkok itu membantunya. Tetapi ia pun berkata, “Jangan bangkit berdiri dahulu, Ki Panji. Duduk sajalah untuk mengatur pernafasan.” Ki Panji sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia melihat Nyi Nagagundala masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Watu Kenari juga terguncang dan jatuh terlentang. Tetapi dibantu oleh seorang kawannya dari Perguruan Kedung Jari, Watu Kenari pun bangkit berdiri. Keadaannya ternyata masih lebih baik dari Ki Panji Kukuh. Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang-lah yang benar-benar mengalami kesulitan. Glagah Putih ternyata mampu mendesak Ki Saba Lintang, sehingga Ki Saba Lintang setiap kali harus berloncatan mundur. Tetapi kesetiaan para pengikutnya benar-benar mengagumkan. Dalam keadaan yang rumit itu, maka perhatian para pengikutnya tertumpah seluruhnya kepadanya. Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut, dan bahkan kemudian Watu Kenari, telah berloncatan mendekati Ki Saba Lintang yang terdesak. Glagah Putih harus bergeser surut untuk mengambil jarak. Ia mencoba untuk menilai lingkaran pertempuran yang dihadapinya. Beberapa orang telah siap bertempur melawannya. Meskipun Watu Kenari yang baru saja berbenturan ilmu dengan Ki Panji Kukuh itu masih nampak goyah, namun ia telah memaksa diri untuk membantu Ki Saba Lintang. Beberapa orang pengikut Ki Panji Kukuh masih bertempur dengan garangnya. Namun korban yang jatuh ternyata sudah sangat banyak. Demikian pula orang-orang Perguruan Kedung Jati pun telah kehilangan banyak orang pula. Ketika Glagah Putih sedang memperhitungkan kemungkinan yang dihadapinya, tiba-tiba saja Rara Wulan berdiri beberapa langkah darinya, “Kita akan menyelesaikannya, Kakang.” Glagah Putih mengerti bahwa keadaan Rara Wulan masih belum pulih kembali. Tetapi keadaannya sudah menjadi berangsur baik. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang yang berada di sekitarnya telah mengambil keputusan lain. Mereka tidak lagi berniat meneruskan pertempuran. Tetapi dengan isyarat yang kurang di mengerti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka telah mengambil satu sikap. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tiba-tiba saja telah menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan garangnya. Mereka menerkam seperti seekor singa yang lapar. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengira bahwa kedua orang itu akan menyerangnya dengan serta merta. Karena itu, maka keduanya telah bergeser surut untuk mengambil jarak. Namun Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tidak memberi keduanya waktu. Dengan tangkas keduanya pun telah meloncat menyerang pula. Serangan mereka datang beruntun. Demikian cepatnya, sehingga sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser surut. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membiarkan diri mereka terdesak lagi. Dengan tangkasnya keduanya pun sengaja membentur serangan yang berikutnya. Rara Wulan yang masih belum pulih sepenuhnya itu masih juga goyah. Beberapa langkah ia terdesak surut. Sementara itu Ki Demung Pugut pun telah tergetar pula. Namun dalam pada itu, Ki Sela Aji yang serangannya telah membentur tenaga Glagah Putih yang menangkis serangan itu, telah terlempar dan terpelanting jatuh. Tetapi sementara itu, Glagah Putih telah melihat Ki Saba Lintang telah melarikan diri di bawah perlindungan Watu Kenari serta dua orang pengikutnya yang lain. “Gila Ki Saba Lintang,” geram Glagah Putih yang berusaha untuk memburunya. Tetapi Glagah Putih itu pun berhenti ketika ia melihat Watu Kenari itu berbalik menghadap ke arahnya. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia melihat Watu Kenari bersiap untuk melontarkan aji pamungkasnya. Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih. Ia pun segera mempersiapkan diri pula. Ketika seleret sinar meluncur ke arahnya, maka Glagah Putih pun telah meluncurkan serangannya pula. Akibatnya telah menggetarkan jantung mereka yang sempat menyaksikannya. Serangan Watu Kenari yang baru saja membenturkan ilmunya dengan Ki Panji Kukuh itu masih terlalu lemah untuk meluncurkan serangannya lagi. Apalagi serangannya itu telah membentur kekuatan ilmu pamungkas Glagah Putih. Karena itu, maka benturan itu telah benar-benar menghancurkan Watu Kenari. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang, membentur dinding halaman banjar. Terdengar derak dinding halaman banjar yang tertimpa tubuh Watu Kenari itu roboh. Watu Kenari tidak sempat mengaduh. Beberapa ruas tulangnya benar-benar berpatahan. Tetapi karena daya tahan tubuh Watu Kenari yang tinggi, maka tubuh itu tidak lumat menjadi debu. Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang sudah tidak nampak lagi. Dua orang pengikutnya telah membawanya lari ke dalam gelap. Kemudian meloncati dinding halaman belakang banjar Kademangan Seca itu. Glagah Putih memang tidak mendapat kesempatan. Ketika ia siap meloncat berlari untuk memburu Ki Saba Lintang sampai ke luar halaman, maka Ki Sela Aji telah menyerangnya. Kemarahan Glagah Putih tidak tertahankan lagi. Ketika Ki Sela Aji meloncat menerkamnya, maka Glagah Putih telah mengangkat, dan kemudian mengayunkan tangannya dengan lambaran Aji Sigar Bumi. Ki Sela Aji masih sempat menjerit, namun kemudian terdiam. Bukan saja suaranya, tetapi juga detak jantungnya. Glagah Putih menggeram marah. Namun ia masih berniat untuk mencari Ki Saba Lintang yang tentu belum terlalu jauh. Tetapi ketika ia berpaling, ia melihat Rara Wulan terjatuh pada lututnya. Dengan susah payah Rara Wulan mencoba bertahan untuk tidak jatuh terlentang. Glagah Putih tidak berpikir panjang. Ia pun segera berlari ke arah istrinya itu. Dilihatnya orang yang bernama Ki Demung Pugut itu telah terbaring diam di hadapan Rara Wulan. “Rara. Bagaimana keadaanmu?” Rara Wulan terduduk. Glagah Putih mencoba untuk menahan agar Rara Wulan tetap duduk. “Duduklah. Atur pernafasanmu. Aku akan menungguimu.” Rara Wulan tidak menjawab. Ia pun mencoba untuk duduk bersila di halaman banjar itu untuk mengatur pernafasannya. Glagah Putih kemudian bangkit berdiri di belakangnya sambil mengawasi keadaan halaman banjar Kademangan Seca itu. Halaman itu telah menjadi lengang. Kedua belah pihak yang tersisa telah meninggalkan banjar. Sementara itu tubuh Ki Panji Kukuh pun sudah tidak ada lagi di halaman banjar kademangan itu. “Kita telah ditinggalkan oleh orang-orang yang bertengkar itu, Rara,” desis Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa sakit. Seakan-akan ada sepucuk duri yang terselip di antara tulang-tulang iganya. “Apa yang akan kita lakukan, Kakang?” “Kita pun akan meninggalkan tempat ini.” “Bagaimana dengan mayat-mayat itu?” “Ini adalah tugas Ki Demang dan Ki Bekel.” Glagah Putih pun kemudian telah membantu Rara Wulan berdiri. Mereka segera berjalan perlahan-lahan ke pintu. Rara Wulan yang terluka itu bergayut di pundak suaminya, sedang suaminya mencoba untuk memapahnya. Ketika mereka melangkah melewati regol halaman banjar, mereka melihat dalam kegelapan sekelompok orang yang mengawasinya. Perlahan-lahan hampir berbisik Rara Wulan pun bertanya, “Siapakah mereka, Kakang?” “Agaknya mereka adalah para petugas di Kademangan Seca.” “Apakah mereka akan menangkap kita?” “Entahlah, Rara. Tetapi agaknya mereka tidak bergerak sama sekali.” Rara Wulan itu pun menyahut perlahan, “Ya Agaknya mereka tidak akan bergerak. Tetapi Kakang harus tetap berhati-hati. Biarkan aku berjalan sendiri, Kakang, agar Kakang dapat bergerak lebih cepat jika sesuatu terjadi.” “Kau masih terlalu lemah.” “Tetapi aku sanggup berjalan sendiri. Perlahan-lahan.” “Tidak akan ada apa-apa. Nampaknya mereka tidak ingin terlibat langsung. Mereka tidak tahu siapakah yang telah menyerang Ki Saba Lintang. Mereka tidak akan berani menerima akibat buruk dari satu kelompok yang telah berani menyerang Perguruan Kedung Jati.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun bertanya, “Sekarang kita akan pergi kemana, Kakang? Tentu tidak ke penginapan.” “Tentu tidak,” jawab Glagah Putih, “kita akan langsung meninggalkan Kademangan Seca. Kita akan mencari tempat yang aman, setidak-tidaknya untuk memberimu kesempatan memperbaiki keadaanmu. Mengatur pernafasanmu serta tatanan urat syaratmu.” Keduanya berjalan di kegelapan malam, menyusuri lorong sempit di Kademangan Seca, langsung menuju ke bulak panjang. Demikian mereka keluar dari regol butulan di ujung lorong sempit itu, maka terasa udara menjadi bertambah segar. “Kita akan mencari tempat yang terpisah dari kesibukan kademangan ini.” “Kemana?” “Ke ujung hutan itu. Ke tempat yang menjadi arena pertempuran antara gerombolan Ki Panji Kukuh dengan gerombolan Ki Guntur Ketiga.” “Apakah Ki Panji Kukuh tidak pergi ke sana?” “Agaknya ia tidak akan pergi ke sana. Ki Panji Kukuh terluka. Ia akan dibawa oleh para pengikut setianya ke tempat yang jauh, untuk menghindari perburuan yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang.” “Tetapi orang-orang Kedung Jati akan mengalami kesulitan untuk mencari keterangan tentang gerombolan Ki Panji Kukuh.” “Jika ada seorang di antara pengikut Ki Panji Kukuh yang dapat ditangkap dan dibawa oleh orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.” “Apakah kita tidak memburu salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang mungkin terluka? Mungkin orang itu dapat memberikan petunjuk kepada kita, kemana kita harus melacak, dimana letak pusat Perguruan Kedung Jati yang besar itu.” “Di halaman banjar itu terdapat beberapa sosok yang tergolek diam. Mungkin mereka sudah mati. Tetapi mungkin ada satu dua yang masih hidup. Tetapi menilik kesetiaan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, mustahil ada di antara mereka yang bersedia berkhianat. Demikian pula orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Mereka akan memilih mati daripada harus berbicara tentang pemimpin mereka serta kedudukan mereka.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka masih saja berjalan menuju ke ujung hutan. Mereka melintasi jalan-jalan sepi. Kemudian mereka pun melintasi padang perdu. Mereka menuju ke sebuah tebing sungai yang tidak begitu besar. Di tepian sungai itulah gerombolan Ki Panji Kukuh dan gerombolan Ki Guntur Ketiga terlibat dalam pertempuran yang sengit. Namun pagi itu, seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, tepian sungai itu nampak sepi-sepi saja. Tidak ada seorangpun yang turun ke sungai atau melewati jalan setapak di atas tanggul sungai menuju ke ujung hutan. “Kita akan beristirahat di sini, Rara. Kau harus mencoba memperbaiki keadaanmu. Sebaiknya kau menelan sebutir obat yang akan dapat membantu memperbaiki keadaan bagian dalam tubuhmu. Bukankah kau juga membawanya?” “Ya, Kakang.” Rara Wulan pun kemudian mengambil sebutir obat dari bumbung kecil yang dibawa di dalam kampilnya dan diselipkan di setagennya. Setelah menelan obat itu, maka Rara Wulan pun segera duduk bersila, kedua tangannya diletakkan di atas lututnya. Sejalan kerja obat yang ditelannya serta sikapnya mengatur pernafasannya, maka terasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur mapan kembali. Terasa darahnya mengalir semakin lancar. Detak jantungnya pun mulai teratur. Suhu badannya tidak lagi bergejolak tidak menentu. Meskipun nyeri-nyeri di tubuhnya masih terasa, namun Rara Wulan menjadi berangsur baik. Sementara itu, Glagah Putih pun tidak jauh dari Rara Wulan yang sedang memusatkan nalar budinya. Dengan seksama Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan Rara Wulan. Dari tarikan nafasnya, serta sikap duduknya, Glagah Putih pun mengetahui bahwa keadaan Rara Wulan sudah berangsur menjadi baik. “Bagaimana keadaanmu, Rara?” bertanya Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Sudah berangsur baik, Kakang.” “Apakah aku sudah dapat turut campur untuk memulihkan, setidaknya memperbaiki keadaanmu?” Rara Wulan nampak agak ragu. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Sudah, Kakang.” Glagah Putih pun kemudian duduk di belakang Rara Wulan. Ia mulai menyentuh-nyentuh punggung dan bahu Rara Wulan dengan jari-jarinya. Beberapa kali ia menekan dengan kedua ibu jarinya, simpul syaraf di sebelah-menyebelah tulang belakangnya. Namun ketika ujung jarinya menekan pundaknya, Rara Wulan menggeliat. “Sakit, Kakang,” desis Rara Wulan. “Ada yang masih belum mapan,” sahut Glagah Putih. Beberapa lama Glagah Putih memperbaiki keadaan Rara Wulan langsung dengan menyentuh simpul-simpul syarafnya, sehingga akhirnya seluruh tubuhnya terasa menjadi longgar kembali. Tidak terasa lagi ketegangan di dalam tubuhnya. Bahkan tulang-tulang yang nyeri. “Rasa-rasanya keadaanku telah pulih kembali, Kakang. Meskipun tenaga dan kekuatanku belum terasa utuh.” “Bersyukurlah, Rara.” “Aku bersyukur, Kakang. Ternyata aku dan Kakang masih mendapat perlindungannya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “etapi aku menyesali apa yang sudah terjadi.” “Kenapa, Kakang?” “Kau lihat korban begitu banyak. Sementara itu kita tidak berhasil mengambil tongkat baja putih itu. Bukankah dengan demikian korban itu menjadi sia-sia.” “Tetapi orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu adalah orang-orang yang hidupnya seutuhnya sudah diserahkan kepada sikap-sikap yang mengandalkan kekerasan. Mereka adalah orang-orang yang telah siap mengalami nasib buruk di setiap pertarungan yang sering terjadi, sebagaimana terjadi pertarungan berebut jalur perdagangan gelap antara Ki Panji Kukuh dengan Ki Guntur Ketiga.” “Benar, Rara. Tetapi kali ini kita-lah yang telah menyeret mereka ke dalam pertarungan yang tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kematian di kedua belah pihak.” “Bukankah kita sedang berusaha? Kali ini usaha kita gagal, Kakang.” “Dalam usaha kita ini, kita telah menyebabkan kematian sekian banyak orang.” Rara Wulan terdiam. Ia melihat kepedihan yang dalam di wajah Glagah Putih yang menyesali langkah yang diambilnya. Ia telah menyeret gerombolan Ki Panji Kukuh dengan berbagai macam cara, untuk terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Namun pertempuran yang menelan banyak korban itu tidak menghasilkan apa-apa. Sehingga kematian dari para pengikut Ki Panji Kukuh dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu sia-sia saja. Namun pendapat Rara Wulan agak berbeda. Katanya, “Kakang. Dari sisi tugas kita, kita memang telah gagal. Kematian itu seakan-akan adalah kematian yang sia-sia. Tetapi jika kita lihat dari sisi yang lain, maka kematian itu mempunyai arti pula. Kita telah ikut membersihkan jalur perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan di Kademangan Seca yang tenang ini. Bukankah dengan demikian, kita telah ikut mengaduk kotoran yang mengendap didasar i tu, mengangkatnya dan sekaligus menguranginya?” “Kita memang dapat menghibur penyesalan kita dengan kenyataan itu, Rara. Kita pun sudah mengurangi kekuatan orang-orang terbaik dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi kenyataan itu tidak akan berarti apa-apa. Sesaat lagi, Ki Panji Kukuh telah membangun jalurnya kembali. Perguruan Kedung Jati telah melengkapi lagi kelompok kepercayaan Ki Saba Lintang.” “Tetapi satu hal yang pasti, Kakang, Ki Saba Lintang tidak lagi berniat membangun salah satu landasan kekuatannya di Seca.” “Bukankah dengan demikian, Ki Panji Kukuh atau orang lain yang mempunyai pikiran sejalan dengan Ki Panji Kukuh, justru akan menguasai perdagangan gelap di bawah permukaan di Seca ini?” “Setidak-tidaknya kita sudah mengetahuinya. Pada kesempatan lain, mungkin dengan sosok yang lain, kita dapat memperingatkan Ki Demang Seca tentang perdagangan gelap yang akan dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar itu, Kakang.” “Ya. Kita akan memanfaatkannya. Perdagangan gelap itu tidak kalah berbahayanya dengan semakin berkembangnya Perguruan Kedung Jati, yang akan menempatkan diri berseberangan dengan kuasa Mataram. Berbeda dengan sebuah kadipaten yang kasat mata, yang dengan jelas dapat dijajagi kekuatannya serta diketahui dengan pasti keberadaannya, sehingga Mataram dapat bertindak dengan perhitungan yang lebih cermat, maka Perguruan Kedung Jati itu mempunyai sifat yang sangat berbeda.” “Ya, Kakang.” “Kita memang sedikit dapat terhibur dengan keberhasilan kita melihat arus perdagangan gelap di bawah permukaan yang tenang dan tenteram di Seca ini.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan?” Glagah Putih menarik nafas panjang. “Apakah kita akan melacak perjalanan Ki Saba Lintang yang telah meninggalkan Seca? Ki Saba Lintang yang kehilangan sebagian besar pengawal-pengawal terbaiknya itu tentu akan menjauhi Seca dalam penyamaran yang lebih ketat.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Tentu akan sangat sulit melacak perjalanan Ki Saba Lintang, Rara. Jika saja kita tidak terlalu bodoh untuk menyerangnya, jika saja kita bersabar menunggu Ki Saba Lintang meninggalkan Seca dalam keadaan damai. Mungkin kita akan dapat melacaknya. Atau jika kita bersabar, bahwa pada suatu saat Ki Saba Lintang akan berada kembali di Seca, sehingga kita dapat minta Kakang Agung Sedayu dan pasukannya datang untuk menangkapnya. Tetapi sekarang kita justru telah kehilangan kesempatan itu.” “Tetapi bukankah apa yang kita lakukan bukannya tidak kita perhitungkan? Kita melihat satu kesempatan. Kita mencoba untuk menangkap kesempatan itu. Tetapi kita gagal.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.” “Kakang. Apa yang kita lakukan adalah suatu kegagalan. Bukankah wajar jika dalam satu usaha itu mempunyai kemungkinan berhasil, tetapi juga mempunyai kemungkinan gagal? Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa sama sekali, maka hanya ada satu kemungkinan. Kita tidak menghasilkan apa-apa.” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Rara.” “Nah, sekarang kita pikirkan. Kita akan pergi kemana?” “Rara. Bagaimana menurut pendapatmu, jika kita membelokkan arah pengembaraan kita ke selatan?” “Ke selatan? Jika kita terus ke selatan, maka kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Ya. Kita melaporkan kegagalan kita. Bukankah dengan kegagalan kita kali ini, kita harus mulai dari permulaan lagi?” “Ya. Kita akan mulai dari permulaan. Tetapi bukankah kita sudah beberapa kali memulai perburuan ini dari permulaan?” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau benar, Rara.” Ternyata keduanya pun sepakat untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, untuk memberikan laporan kegagalan mereka di Kademangan Seca. Selain itu, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bekal mereka pun sudah hampir habis pula. Di Seca mereka telah memboroskannya untuk menginap di penginapan yang terhitung mahal. Sedangkan sebenarnya mereka terbiasa bermalam di pategalan atau di banjar-banjar padukuhan. “Tetapi tanpa menginap di penginapan itu, kita tidak akan mengetahui gerak di bawah permukaan di Seca. Kita pun tidak mengetahui bahwa Ki Saba Lintang berada di Seca,” desis Rara Wulan. “Ya,” Glagah Putih mengangguk angguk. Namun tiba-tiba saja ia pun berkata, “Yang menjadi sangat sibuk adalah para petugas di Kademangan Seca. Mereka harus membersihkan halaman banjar. Menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh, dan merawat mereka yang terluka berat dari kedua belah pihak.” “Yang terluka agaknya telah dibawa oleh kawan-kawannya,” sahut Rara Wulan. “Apakah mereka sempat melakukannya?” “Pada saat-saat terakhir, mereka tidak bertempur lagi. Mereka sibuk melarikan kawan-kawan mereka yang terluka.” “Yang parah?” “Bukankah Kakang tahu kebiasaan mereka? Pada saat kakang menyelesaikan pertempuran dengan Ki Saba Lintang, maka yang tidak kita bayangkan itu terjadi. Sekilas aku melihatnya, bagaimana seorang yang terluka parah justru harus mengakhiri penderitaanya karena tangan kawan sendiri.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Agaknya hal seperti itu terjadi pada kedua belah pihak.” “Untung aku tidak diperlakukan seperti itu, ketika aku terpelanting dalam benturan ilmu dengan orang yang bernama Murdaka itu.” “Kau tidak kehilangan kesempatan. Kau masih dapat segera bangkit, meskipun kau menjadi lemah. Apalagi kau bukan pengikut yang sebenarnya dari Ki Panji Kukuh. Kau tidak banyak mengetahui tentang gerombolan itu.” Rara Wulan tersenyum. Sementara Glagah Putih masih melanjutkannya, “Jika kau akan diperlakukan seperti itu, maka kau-lah yang akan membunuhnya.” Rara Wulan bahkan tertawa. Katanya, “Tentu saja tidak, Kakang. Aku tidak terkapar dalam keadaan parah.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Dalam pada itu, maka langit pun menjadi merah. Glagah Putih masih duduk di rerumputan kering. Sementara Rara Wulan justru berbaring. Katanya, “Anggap saja kita tidur d dalam bilik yang hangat di penginapan itu. Suara gemercik air dengan iramanya yang khusus itu kita dengar sebagai suara gamelan yang ngerangin. Burung-burung liar yang mulai berkicau itu adalah suara pesinden yang merdu.” “Tetapi sekarang kita berada di wayah gagat raina. Tidak di wayah sepi uwong.” “Ya, itulah bedanya. Tetapi bukankah suara burung-burung liar itu terdengar penuh gairah dan ketegaran menyambut datangnya hari yang baru?” “Ya. Kita pun dapat bersiul seperti burung-burung itu.” “Ya. Aku juga dapat bersiul, Kakang.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jarang aku mendengar perempuan bersiul.” “Kakang tidak percaya?” Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya, “Percaya. Aku percaya, Rara. Karena aku pernah mendengar kau bersiul.” Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan kerut di dahinya. Namun kemudian Rara Wulan itu pun tertawa pula. Namun kemudian Rara Wulan itu pun bertanya, “Lalu, apakah kita mengurungkan niat kita pergi ke Gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara?” “Menemui Kiai Pupus Kendali?” “Ya. Bukankah kita ingin mempertanyakan golok pusaka yang disebut Kiai Naga Padma?” “Kita akan pergi ke kaki Gunung Sumbing pada kesempatan pertama, Rara. Tetapi bukankah sebaiknya kita melaporkan keadaan Kademangan Seca ini lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu, bahkan kemudian kepada Ki Patih Mandaraka?” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sebaiknya kita memang melaporkannya lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu.” “Baiklah. Kita akan pulang.” “Apakah kita dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh dalam sehari perjalanan?” “Jika kita berjalan terus, mungkin kita akan dapat mencapainya. Tetapi perjalanan kita akan menempuh daerah yang agaknya kurang bersahabat.” “Maksud Kakang, kita tidak perlu memaksa diri untuk sampai di Tanah Perdikan malam nanti?” “Ya. Kita tidak terlalu tergesa-gesa. Seandainya kita besok siang sampai di Tanah Perdikan, bukankah laporan kita tidak terlalu lambat?” “Jadi kita berjalan seenaknya saja? Jika kita ingin berhenti, kita akan berhenti.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Bukankah itu lebih baik? Kita akan berjalan pulang sambil melepaskan segala ketegangan kita selama ini.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Nah, marilah kita berbenah diri. Bukankah keadaanmu sudah berangsur baik, sehingga kita dapat mulai dengan perjalanan pulang?” “Sudah, Kakang. Aku siap menempuh perjalanan pulang. Bukankah kita akan berjalan seenaknya saja?” Demikianlah, keduanya pun segera berbenah diri, bersiap untuk menempuh perjalanan panjang. Tetapi mereka akan menempuh jalan pintas ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka akan melintasi jalan yang agak sulit. Mereka akan melewati daerah pegunungan, melintasi hutan, jurang dan ngarai. Menyeberang sungai besar dan kecil, serta padang perdu yang luas. Tetapi di beberapa bagian dari perjalanan mereka, mereka akan melewati kademangan dan pedukuhan besar dan kecil. Melintasi daerah yang terhitung padat penghuninya. Ketika langit menjadi semakin terang, maka keduanya pun telah bersiap. Keduanya pun segera menapak melangkah meninggalkan tempat itu. Keduanya pun telah memilih jalan menghindari padukuhan Seca. Mereka merasa bahwa para petugas di Seca tentu ada yang sempat memperhatikan mereka semalam, ketika terjadi pertempuran di Banjar. Beberapa orang petugas yang memperhatikan pertempuran itu dari luar halaman akan dapat mengenalinya, jika mereka memasuki pedukuhan Seca siang hari. Setelah terjadi pertempuran semalam, para petugas tentu akan memperketat penjagaan di mana-mana. “Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan Ki Panji Kukuh atau pengikutnya,” desis Rara Wulan. “Mereka tentu tidak lagi bersikap bersahabat dengan kita, setelah mereka kehilangan beberapa orang pengikut mereka di halaman banjar itu.” “Agaknya Ki Panji Kukuh telah berada di tempat yang lebih jauh lagi, Rara. Apalagi agaknya Ki Panji Kukuh sendiri telah terluka.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka keduanya pun menghindari untuk melewati pedukuhan Seca, meskipun mereka sebenarnya ingin. Tetapi mereka sengaja melewati jalan yang menuju ke arah Seca. Ketika matahari terbit, beberapa orang tengah berjalan menuju ke pasar Seca, meskipun tidak di hari pasaran. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun juga berpapasan dengan orang yang agaknya sudah pulang dari pasar. Seorang laki-laki yang memikul gula kelapa berjalan diikuti oleh seorang perempuan yang agaknya adalah istrinya. “Mungkin dalam dua atau tiga hari pasar itu masih sepi, Nyi,” berkata laki-laki yang memikul gula kelapa. “Sia-sia saja kita berjalan di pagi-pagi buta,” sahut istrinya. Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan itu dapat mengambil kesimpulan, bahwa pada hari itu pasar Seca menjadi sepi. Orang-orang yang berdatangan dari jauh tidak tahu apa yang telah terjadi semalam, sehingga seperti biasanya mereka datang untuk menjual dagangan atau hasil tanah mereka. “Kita tidak tahu, apakah peristiwa semalam akan mempunyai pengaruh yang dalam di padukuhan ini,” berkata Glagah Putih. “Seca memang harus mendapat peringatan, Kakang. Jika mereka masih saja terlena tanpa mengetahui bahwa ada urusan perdagangan gelap di bawah permukaan, maka pada suatu saat, pengaruh perdagangan gelap itu justru akan menelan Seca.” Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melaporkannya kepada Kakang Agung Sedayu. Mungkin Kakang Agung Sedayu dapat memberikan petunjuk. Meskipun Kakang Agung Sedayu seorang pemimpin dari satu kesatuan prajurit, bukan seorang yang memimpin pemerintahan atas suatu daerah, tetapi Kakang Agung Sedayu tentu mempunyai wawasan yang lebih luas dari kita berdua.” “Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan. Sementara itu, mereka pun telah berbelok turun ke jalan simpang, sehingga mereka tidak memasuki padukuhan Seca. Ketika mereka berjalan di belakang dua orang perempuan yang menggendong bakul di punggungnya, mereka menjadi semakin yakin bahwa pasar Seca menjadi sepi. Bahkan seorang di antara kedua perempuan itu mengatakan, “Kedai-kedai di sekitar pasar pun tidak membuka pintunya.” Dua orang laki-laki yang berjalan bersama dengan seorang perempuan justru mengatakan bahwa semalam di Seca telah terjadi ontran-ontran. “Geger, Yu,” berkata laki-laki itu. “Darimana kau tahu?” bertanya perempuan itu “Petugas di pasar itu yang bercerita. Seorang di antara petugas di pasar itu kemenakanku. Kemenakanku mengatakan bahwa mayat tergeletak bujur-lintang di halaman banjar.” “Mengerikan.” “Orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah, Yu.” “Ah, sudah, sudah. Jangan ceritakan lagi tentang mayat-mayat itu.” “Aku kan sudah tidak bercerita tentang mayat. Aku hanya mengatakan bahwa orang-orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah.” “Tetapi kau bercerita tentang mayat-mayat yang terbujur-lintang di halaman banjar.” “Tadi. Tetapi bukankah ceritaku tidak berlanjut?” “Tetapi anak siapa saja yang mati di halaman banjar itu?” Laki-laki yang seorang lagi yang menyahut, “Kau sendiri yang bertanya, Yu.” “Ya, sudah, sudah.” Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun perempuan itu-lah yang berkata lebih dahulu, “Aku membawa uwi jero dan melinjo. Sekarang aku bawa pulang lagi. Padahal aku memerlukan garam dan terasi.” “Mungkin dua atau tiga hari lagi, Yu.” “Tetapi aku memerlukan garam. Apakah kau dapat pisah dengan garam sampai dua atau tiga hari?” “Nanti suruh saja anakmu yang kuncungan itu pergi ke rumahku. Aku masih mempunyai persediaan sedikit.” “Terima kasih, Adi. Nanti aku suruh si Kuncung pergi ke rumahmu.” “Baik, Yu,” jawab laki-laki itu. Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang justru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan Rara Wulan berkata, “Kasihan perempuan itu. Ia kehabisan garam.” “Untungnya tetangganya itu baik hati.” “Mungkin bukan sekedar tetangga, tetapi ada hubungan keluarga di antara mereka.” Namun keduanya tidak mengikuti ketiga orang itu lebih jauh lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan tidak secepat perempuan dan kedua orang laki-laki yang baru saja pulang dari pasar Seca yang sepi. Bahkan ketika mereka sampai di simpang empat, Glagah Putih dan Rara Wulan mengambil jalan yang lain dari perempuan dan kedua orang laki-laki itu. Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin cerah. Matahari yang mulai memanjat langit melontarkan sinarnya yang hangat ke segenap penjuru. Di kejauhan masih terdengar burung-burung liar yang berkicau menyambut dalangnya hari baru. Angin yang semilir menyentuh dedaunan. Air yang jernih mengalir di parit yang menjelujur sepanjang jalan bulak. Agaknya air di parit itu mengalir sepanjang musim. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus. Semakin lama mereka menjadi semakin jauh dari Seca. Kademangan yang sebelum disentuh oleh Ki Saba Lintang adalah kademangan yang tenang dan tenteram. Namun yang luput dari perhatian para bebahu di Seca adalah arus perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan. Menjelang tengah hari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai menapaki jalan-jalan yang semakin sulit. Mereka mulai mendaki jalan-jalan di perbukitan. Mereka mulai melintasi jalan-jalan yang sulit di antara padukuhan-padukuhan kecil, yang agaknya berada di lingkungan yang tanahnya tidak begitu subur. “Kenapa penghuni padukuhan ini tidak mencari tempat-tempat yang lebih baik?” desis Rara Wulan, “nampaknya di sini tanahnya tidak begitu subur. Bukankah mereka dapat mencari tempat yang lebih baik dengan menebas hutan yang luas di dataran yang lebih rendah?” “Kadang-kadang kita tidak dapat mengerti jalan pikiran mereka, Rara. Agaknya mereka masih merasa terikat dengan kampung halaman tempat mereka dilahirkan. Mereka masih terikat kepada kesetiaan mereka terhadap keluarga besar mereka yang menghuni satu padukuhan, tanpa menghiraukan keadaan tempat tinggal mereka. Tanah warisan itu merupakan beban kewajiban bagi mereka untuk tetap merawat dan memeliharanya.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Bahkan seandainya mereka hidup dalam kesulitan. Panen yang kurang memadai, air yang tidak cukup, bahkan sumur-sumur yang sangat dalam. Mereka harus bekerja keras untuk dapat makan ajeg setiap hari.” “Ya. Jika saja mereka bersedia berbicara dengan Ki Demang untuk mendapatkan ijin membuat daerah pemukiman baru. Mereka dapat melakukannya bersama-sama seluruh padukuhan, jika mereka tidak ingin terpisah-pisah yang satu dengan yang lain.” Sebenarnyalah padukuhan kecil itu nampak kekeringan. Dedaunan menjadi agak ke kuning-kuningan. Sawah yang menghampar di sebelah pedukuhan itu ditanami jagung, yang nampak tidak begitu subur. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan utama padukuhan itu, mereka melihat anak-anak yang nampaknya tidak begitu gembira, meskipun ada pula di antara mereka yang sibuk bermain. Mereka pada umumnya tidak berbaju, agak kekurus-kurusan dengan rambut yang agak kemerah-merahan. Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus, mereka melihat kesibukan di ujung padukuhan. Beberapa orang sedang sibuk di sebuah sungai kecil yang mengalir lewat ujung padukuhan mereka. Agaknya orang-orang padukuhan itu sedang membendung aliran sungai yang tidak begitu besar itu untuk dinaikkan ke dalam parit, sehingga airnya dapat mengaliri sawah mereka. “Syukurlah,” desis Glagah Putih, “agaknya lahir juga seorang yang berani mengambil langkah-langkah penting di padukuhan kecil yang tandus itu.” “Ya, Kakang. Alam yang keras telah menempa penghuninya untuk tidak saja bekerja keras, tetapi juga berpikir keras.” Seakan-akan di luar kehendaknya, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak melihat orang-orang yang sibuk mengisi brunjung bambu dengan bebatuan. Kemudian meletakkannya menyilang aliran air di sungai itu. Onggokan slangkrah yang diikat dengan kuat diletakkan di sela-sela brunjung bambu itu, untuk menutup celah-celah agar air tidak menyusup melewati celah-celah itu. Glagah Putih tersenyum. Ia merasa seakan-akan ikut serta membantu orang-orang yang sedang bekerja keras itu. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan orang-orang padukuhan yang membuat bendungan di ujung padukuhan, dekat jalan ulama yang membujur menusuk bulak panjang yang kering. Pohon-pohon perindang yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan pun daunnya nampak agak kekuning-kuningan. Satu-satu berguguran disentuh angin perbukitan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan terus. Ada beberapa padukuhan yang nampak tandus telah dilewati. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memasuki padang perdu yang luas. Dengan mengikuti jalan setapak, maka keduanya pun berjalan menuju ke tepi sebuah hutan yang masih nampak lebat dan jarang di sentuh kaki manusia. Nampaknya masih banyak binatang buas yang menghuni hutan itu. Tetapi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, hutan tidak harus dijauhi. Mereka pernah tinggal di hutan untuk menjalani laku. Bahkan mereka pernah hidup sebagai bagian dari keutuhan hutan itu, ketika mereka menjalani laku dengan Tapa Ngidang. Karena itu, ketika mereka mendengar aum harimau, keduanya sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan. Mereka tahu bahwa jika dalam keadaan yang khusus, harimau itu tidak akan menyerangnya, meskipun mereka mencium bau manusia. Bahkan seandainya seekor harimau yang kelaparan yang tidak mendapatkan mangsa lain datang menyerang mereka, keduanya pun akan siap melawannya. Beberapa saat lamanya mereka berjalan di pinggir hutan. Mereka merasakan jalan itu menurun. Hutan itu pun terasa tumbuh lebat di tanah yang miring. Beberapa lama mereka menyusuri jalan di pinggir hutan. Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi hingga sampai di puncak, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah meninggalkan hutan itu. Mereka memilih jalan setapak yang memasuki padang perdu menuju ke dataran yang lebih rendah. Jalan setapak itu agaknya sering dilalui orang yang mencari kayu di hutan. “Apakah orang-orang yang mencari kayu itu tidak takut bertemu dengan binatang buas?” desis Rara Wulan. “Biasanya mereka tidak seorang diri, Rara. Tetapi mereka pun mencermati kebiasaan binatang buas, terutama harimau. sehingga mereka mengerti kapan mereka dapat pergi ke hutan untuk mencari kayu.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berada di seberang padang perdu, dan mulai merambah tanah ngarai yang luas. “Jalan yang kita lalui ini agak aneh, Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian. “Apa yang aneh?” bertanya Glagah Putih. “Nampaknya jalan ini sering sekali dilalui orang. Padahal jalan ini menuju ke ujung hutan yang menjorok itu.” “Mereka adalah pencari kayu dari padukuhan terdekat.” “Tetapi padukuhan yang terdekat itu letaknya jauh sekali, Kakang. Apakah mereka memerlukan mencari kayu sampai ke ujung hutan ini?” Glagah Putih yang semula tidak begitu memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu, mulai tertarik pula. Bahkan tiba-tiba saja dia berdesis, “Kau lihat jejak kaki kuda?” “Ya.” Glagah Putih semakin memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu. Jalan setapak di padang perdu yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Beberapa batang pohon yang lebih besar tumbuh pula di padang perdu itu. Beberapa onggok batu padas yang mencuat terdapat di mana-mana, terbalut oleh tanaman perdu yang liar, yang bahkan sering terdapat pepohonan perdu yang berduri. “Tentu ada sesuatu di ujung hutan yang menjorok itu, Rara,” berkata Glagah Putih. “Apakah kita akan melihatnya?” “Lain kali saja, Rara. Sebaiknya kita berjalan terus menuju ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya semakin cepat kita membuat laporan tentang Ki Saba Lintang, akan menjadi semakin baik. Mungkin Kakang Agung Sedayu akan membawa kita menghadap Ki Patih Mandaraka.” “Ki Patih itu tentu sudah menjadi semakin tua, Kakang.” “Ia memang sudah tua. Bahkan sangat tua.” “Tetapi ia masih nampak tegar.” “Ya. Ia masih nampak tegar.” Keduanya pun berjalan terus menyusuri jalan setapak yang menarik perhatian mereka itu. Mereka melihat jejak kaki kuda yang berjalan ke kedua arah yang berlawanan. Bahkan jalan setapak itu nampaknya memang sering dilalui oleh orang-orang berkuda. Orang-orang itu tentu akan sangat menarik perhatian. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya tidak ingin mendapat hambatan di perjalanan. Mereka ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka sadari bahwa mereka akan kemalaman di perjalanan. Namun langkah mereka pun tiba-tiba terhenti. Mereka melihat sebatang lembing bambu yang tertancap di sebelah sebatang pohon cangkring tua yang daunnya sudah menjadi sangat jarang. Pohon yang besar itu nampak meranggas dan bahkan beberapa ujung dahannya mulai nampak mengering. “Lembing itu, Kakang,” desis Rara Wulan. Glagah Putih yang juga sudah melihat lembing itu melangkah mendekatinya, tetapi ia tidak menyentuhnya. “Satu pertanda, Rara.” Rara Wulan mengangguk. Ia melihat seikat benang lawe putih terikat pada lembing bambu itu. Beberapa buah batu yang dirangkai dengan benang putih pula, serta sepotong tulang yang sudah kering, bergayut pada lembing bambu itu. Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan lembing itu. Namun Glagah Putih pun kemudian berbisik, “Ada beberapa orang bersembunyi di balik gerumbul di sekeliling kita, Rara.” “Ya,” sahut Rara Wulan, “tentu mereka yang telah memasang lembing ini.” “Jika kita tidak menyentuhnya, agaknya kita pun tidak akan diganggu.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Meskipun demikian, keduanya pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, karena mereka tidak menyentuh dan tidak mengganggu lembing itu, maka mereka pun tidak diganggu pula. “Agaknya lembing ini merupakan satu pertanda, bahwa daerah ini merupakan daerah kekuasaan sebuah gerombolan. Entah gerombolan apa yang agaknya menghuni ujung hutan yang menjorok itu.” Rara Wulan mengangguk. “Marilah, kita tinggalkan tempat ini, Rara. Kita tidak berkepentingan dengan mereka.” Rara Wulan tidak menjawab. Namun ia pun beranjak dari tempatnya berdiri. Keduanya pun kemudian melintas padang perdu itu mengikuti jalan setapak, tetapi yang sudah sering dilalui para penunggang kuda. Ternyata keduanya memang tidak diganggu oleh orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu yang liar itu. Orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu itu membiarkan saja Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Ternyata tidak hanya ada satu lembing yang ditancapkan sepanjang padang perdu itu. Selain lembing yang ditemuinya di sebelah sebatang pohon cangkring tua itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menjumpai beberapa batang lembing lagi yang menancap di sebelah-menyebelah jalan setapak itu. Agaknya daerah itu benar-benar telah dikuasai oleh sebuah gerombolan yang kokoh. “Jangan-jangan daerah ini adalah alas kekuasaan Ki Panji Kukuh,” desis Rara Wulan. “Terlalu jauh dari Seca, Rara.” “Tidak. Baru setengah hari perjalanan. Mungkin mereka telah membangun landasan baru yang lebih dekat.” “Nampaknya watak gerombolan ini agak lain. Gerombolan ini tentu gerombolan yang lebih keras dan lebih kasar dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Tetapi itu bukan berarti bahwa kemampuan gerombolan ini lebih tinggi dari kemampuan gerombolan Ki Panji Kukuh.” Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Ya. Menilik benda-benda yang mereka kaitkan pada lembing-lembing mereka itu, gerombolan ini adalah gerombolan yang keras.” Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berjalan di antara sepasang pohon jambe yang juga sudah tua. Mereka melihat beberapa macam benda yang ditempelkan pada sepasang pohon jambe itu. Bahkan pedang yang sudah karatan, bebatuan dan berbagai macam akar, tulang-tulang yang sudah kering. Dan yang telah membuat tengkuk Rara Wulan meremang, di sepasang pohon jambe itu bergantung pula masing-masing tengkorak manusia yang sudah kering pula. “Kakang,” desis Rara Wulan. “Agaknya sepasang pohon jambe ini merupakan gapura dari pintu gerbang keluar dan masuk lingkungan gerombolan itu. Jika benar, maka kita sekarang sudah berada di luar lingkungan mereka, Rara.” “Ya, Kakang. Tetapi apakah mereka pasti tak akan mengganggu kita, setelah kita berada di luar daerah kekuasaan mereka di padang perdu ini?” “Mudah-mudahan, Rara. Tetapi kita tidak boleh menjadi lengah. Jika saja tiba-tiba mereka menyerang, maka kita harus mempertahankan diri.” “Aku tidak akan berbaik hati terhadap gerombolan yang telah menggantungkan sepasang tengkorak manusia di pintu gerbangnya. Aku siap melontarkan Aji Namaskara pada seranganku yang pertama. Apalagi jika jumlah mereka cukup banyak.” Namun Glagah Putih pun berdesis, “Agaknya kita sudah menjadi semakin jauh dan orang-orang yang mengendap-endap mengamati kita itu.” “Ya. Agaknya memang demikian.” Sebenarnyalah bahwa mereka telah berada di luar pengamatan sebuah gerombolan yang terhitung garang yang bersarang di ujung hutan itu. Mereka telah membersihkan ujung hutan yang menjorok dari gerumbul-gerumbul perdu yang liar, dan mendirikan gubug-gubug di antara pepohonan raksasa di ujung hutan itu. Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Rara. Menurut dugaanku, tanah ngarai ini adalah tanah yang memungkinkan untuk digarap menjadi sawah dan ladang. Tetapi agaknya gerombolan perampok itulah yang manakut-nakuti orang yang berniat menggarap tanah ngarai ini, sehingga menjadi padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat, dengan satu dua pohon-pohon yang besar dan tua.” “Rasa-rasanya aku telah menginjak pematang, Kakang.” “Bekas pematang, maksudmu?” “Ya. Tanah ngarai ini agaknya pernah menjadi tanah garapan. Tetapi entah karena apa, maka tanah ini telah ditinggalkan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mulai memperhatikan tanah di sebelah-menyebelah jalan sempit yang mereka lalui. Seperti yang dikatakan oleh Rara Wulan yang berjalan di luar jalur jalan sempit itu, mereka memang mendapatkan jalur tanah yang agaknya bekas pematang sawah. “Ya. Tanah ini pernah menjadi tanah garapan,” berkata Glagah Putih. “Tetapi tanah ini sudah lama ditinggalkan. Tetapi pohon-pohon besar itu tentu sudah ada pada saat tanah ini menjadi tanah garapan.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa ratus patok di hadapan mereka, nampak tanah garapan yang luas terbentang sampai ke cakrawala. Beberapa padukuhan nampak di kejauhan, bagaikan pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan yang tenang. “Ada beberapa kemungkinan, kenapa tanah ini tidak lagi digarap Rara.” Rara Wulan tidak menyahut. “Mungkin karena keberadaan gerombolan yang jahat, sehingga para petani menjadi ketakutan. Tetapi mungkin para petani tidak mempunyai cukup tenaga yang menggarap sawah yang demikian luas.” “Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan sambil memandangi tanah yang sedemikian luasnya. Keduanya pun kemudian menuruni sebuah tebing yang rendah, dan memasuki jalan yang sedikit lebih lebar dari jalan yang baru saja dilaluinya. “Kita pergi ke padukuhan yang nampak itu, Rara.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, panas matahari pun terasa semakin menyengat. Namun ketika mereka mulai memasuki tanah persawahan, maka di sebelah-menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perindang. Ternyata penghuni padukuhan yang memiliki sawah yang luas itu menanami tanggul parit di sepanjang jalan yang panjang itu dengan pohon turi. Pohon yang berbunga putih, yang merupakan jenis sayuran yang banyak digemari. Semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melihat semakin jelas bahwa padukuhan di hadapan mereka adalah sebuah padukuhan yang besar. Sebuah padukuhan yang memanjang, yang dilingkari dengan dinding padukuhan yang cukup tinggi. “Agaknya padukuhan itu telah melindungi dirinya dari para penjahat yang tinggal di hutan itu,” desis Glagah Putih. “Ya. Ternyata dengan dinding padukuhan yang tinggi. Mungkin memang terdapat permusuhan antara orang-orang padukuhan itu dengan gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun kemudian berkata, “Kita akan melewati padukuhan itu, Rara. Kita akan dapat melihat keadaan di padukuhan yang berdinding tinggi itu.” Rara Wulan mengangguk, la memang ingin melihat, apa yang terdapat dalam padukuhan yang berdinding tinggi itu. Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah berada di jalan yang lebih besar lagi, langsung menuju ke pintu gerbang padukuhan yang sudah menjadi semakin dekat. Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat. Namun pohon turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan itu telah banyak memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Pada saat matahari sedikit melewati puncaknya, maka mereka berdua pun telah sampai ke pintu gerbang padukuhan Itu. Ternyata pintu gerbang padukuhan itu terbuka lebar, meskipun nampaknya pintu itu sengaja dibuat demikian kokohnya. Sehingga kesan yang menyentuh jantung Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu memang sengaja melindungi dirinya sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan belum tahu, padukuhan itu melindungi diri dari siapa? Mungkin dari para penjahat di ujung hutan. Tetapi mungkin ada ancaman lain yang membuat seisi padukuhan itu harus berhati-hati. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan yang besar itu, maka yang dilihatnya adalah jalan utama yang cukup lebar. Dinding halaman yang tertata rapi. Halaman rumah yang pada umumnya cukup luas dan bersih. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk semakin dalam, dilihatnya beberapa orang remaja yang berjalan menggiring kambing dan domba. Di lambung mereka tergantung pedang. “Pedang,” desis Rara Wulan, “bukan sekedar alat untuk mencari rumput. Tetapi benar-benar pedang.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Setiap remaja di padukuhan ini telah mempersenjatai dirinya sendiri dengan pedang. Apa yang telah menyebabkan mereka harus bersenjata?” “Mungkin ada ancaman dari luar padukuhan ini. sehingga setiap orang, termasuk remajanya, harus bersenjata.” “Mungkin sekali. Agaknya penjahat di sudut hutan itu.” Sebenarnyalah setiap laki-laki di padukuhan itu membawa senjata apapun juga. Ada yang membawa pedang, tongkat besi, tombak pendek atau apa saja. Tetapi kebanyakan di antara mereka membawa pedang di lambungnya. Selain membawa senjata, agaknya penghuni padukuhan itu juga selalu berhati-hati terhadap orang yang dianggapnya asing. Glagah Putih dan Rara Wulan merasa bahwa beberapa pasang mata selalu memandanginya. Dari balik pintu-pintu regol halaman, atau mereka yang berpapasan di jalan utama padukuhan itu. Bahkan dua orang anak muda yang berpapasan, dengan tidak segan segan lagi berhenti dan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan. “Rasa-rasanya kita menjadi tontonan di sini, Kakang.” “Bukan tontonan. Tetapi kita menjadi sosok yang nampaknya sangat dicurigai.” “Tentu ada persoalan yang gawat yang terjadi di padukuhan ini.” “Tetapi persoalan itu tentu sudah makan waktu yang lama dan agaknya masih belum terselesaikan. Dinding padukuhan itu tentu tidak baru kemarin sore didirikan. Menilik ujudnya, dinding itu tentu sudah agak lama dibuatnya.” “Ya, Kakang.” Rara Wulan pun menjadi semakin mendekati Glagah Putih sambil berdesis, “Kita benar-benar menjadi perhatian orang banyak di padukuhan ini.” Sebelum Glagah Putih menjawab, mereka melihat dua orang anak muda yang muncul dari regol halaman. Ternyata regol itu adalah regol banjar padukuhan yang besar itu. Banjar padukuhan itu adalah banjar yang terhitung luas. Bangunannya termasuk bangunan yang bagus. Bahkan tiang regolnya terbuat dari kayu berukir dan disungging lembut. Apalagi tiang-tiang pendapa banjar itu. Sebuah bangunan joglo yang terhitung besar dan luas. Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti ketika kedua orang anak muda dengan isyarat telah menghentikan mereka. “Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain.” “Kademangan manakah yang Ki Sanak singgahi yang terakhir, sebelum Ki Sanak sampai ke padukuhan kami?” “Kami berada di Seca, Ki Sanak.” “Apakah kalian terlibat dalam bentrokan berdarah yang terjadi di Seca?” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata berita tentang gejolak yang terjadi di Seca begitu cepatnya telah sampai ke telinga penghuni padukuhan itu. “Tidak, Ki Sanak. Bahkan kami tidak tahu bahwa di Seca telah terjadi pertumpahan darah. Bahkan menurut penglihatan kami, Seca adalah satu kademangan yang tenang, aman dan terasa damai.” “Itu yang nampak di permukaan.” Glagah Putih termangu-mangu pula sejenak. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apa maksud Ki Sanak?” Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Glagah Putih. Bahkan anak muda itu bertanya, “Kapan kau meninggalkan Seca?” “Kemarin siang, Ki Sanak.” “Dimana kau berada semalam? Maksudku, di mana kau bermalam semalam?” “Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami dapat bermalam dimana saja. Semalam kami bermalam di sebuah padukuhan yang kering, yang tanahnya tandus. Tetapi nampaknya padukuhan itu mempunyai masa depan yang berpengharapan, karena padukuhan itu telah bangkit. Agaknya ada juga seseorang yang seakan-akan membangunkan mereka dari sebuah mimpi buruk, sehingga rakyat padukuhan kering itu telah bersama-sama bekerja keras membuat bendungan.” Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Padukuhan Tangkil memang sedang membuat bendungan.” “Aku bermalam di pategalan yang kering, di sebelah padukuhan itu.” “Kenapa kau tidak bermalam di padukuhannya? Di banjar misalnya?” Glagah Putih mulai mencari-cari jawab. Katanya, “Aku bertemu dengan seseorang yang sedang berada di pategalannya. Kami berdua menemaninya tidur di gubugnya.” “Kenapa orang itu tidur di gubugnya di pategalan? Apakah ada tanaman yang perlu ditungguinya?” “Tidak, Ki Sanak. Orang itu tidak menunggui tanaman apapun. Tetapi menurut orang itu, ia sedang bertengkar dengan istrinya, sehingga malam itu ia lebih senang tidur di pategalan.” Anak muda itu mengerutkan dahinya Namun kemudian ia berdesis, “Edan.” Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu mangu. Mereka menjadi agak tegang, apakah kata-kata Glagah Putih itu dipercaya atau tidak. Namun tiba-tiba saja anak muda yang seorang lagi bertanya, “Sebelum sampai ke padukuhan ini, kalian berada dimana?” Glagah Putih pun menjawab, betapapun jantungnya terasa berdebar, “Ki Sanak, justru itulah yang ingin kami tanyakan. Kami berjalan menyusur jalan di sebelah hutan, turun ke ngarai. Ketika kami menyeberangi padang perdu yang cukup luas itu, kami melihat beberapa batang lembing yang tertancap di tanah. Bahkan kami berdua melewati sepasang pohon jambe yang mengerikan.” “Kenapa mengerikan?” “Ada beberapa macam benda terikat bergayutan di sepasang pohon jambe tua itu. Yang mengerikan, di pohon jambe itu juga bergantungan dua buah tengkorak manusia yang sudah kering.” “Kalian lewati padang perdu itu?” “Ya.” “Beruntunglah kalian, bahwa kalian masih sempat melihat padukuhan ini.” “Kenapa?” bertanya Glagah Putih. “Kalian tidak menyentuh apapun yang ada di padang perdu itu? Maksudku, lembing dan pohon jambe, serta benda-benda yang bergayut pada lembing serta pohon jambe itu?” “Tidak, kami hanya lewat. Itupun agak tergesa-gesa.” Namun yang seorang lagi tiba-tiba saja bertanya pula, “Kalau semalam kau bermalam di Tangkil, kenapa baru sekarang kau sampai di sini?” Dengan serta-merta pula Glagah Putih menjawab, “Kami terlambat bangun. Akhirnya kami diminta singgah ke rumah orang yang sedang bertengkar dengan istrinya itu. Ternyata istrinya baik dan menghidangkan makan dan minum bagi kami berdua, sementara laki-laki yang bermalam di pategalan itu pergi ke sungai, ikut membuat bendungan.” Agaknya jawaban-jawaban Glagah putih cukup meyakinkan. Karena itu, maka kedua orang anak muda itu pun kemudian berkata, “Silahkan melanjutkan perjalanan kalian.” “Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi apakah aku boleh bertanya sedikit lagi?” “Bertanya apa?” “Apakah setiap orang lewat juga mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan kalian kepada kami berdua?” “Jika orang itu mencurigakan, maka kami tentu akan bertanya sebagaimana kami tanyakan kepada Ki Sanak.” “Terima kasih. Kami minta diri.” “Silahkan, Ki Sanak. Tetapi kalian harus menyadari bahwa kalian berdua termasuk orang-orang yang mencurigakan. Kalian berjalan berdua di teriknya panas matahari. Tetapi kalian seakan-akan berjalan di terang bulan. Kalian melihat-lihat setiap regol halaman, memperhatikan setiap rumah, dan bahkan anak-anak kami yang akan keluar menggembalakan kambing.” “Memang ada yang menarik perhatian kami, Ki Sanak.” “Apa?” “Aku melihat semua orang laki-laki di padukuhan ini bersenjata apa saja, seolah-olah padukuhan ini sedang dalam suasana perang. Bahkan anak-anak remaja yang menggembalakan kambing itu pun membawa senjata pula di lambungnya. Bukankah itu sangat menarik perhatian bagi para pengembara?” Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka menjawab, “Tidak. Tidak ada hubungan apa-apa antara senjata yang dibawa oleh setiap laki-laki di sini dengan perang. Kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa. Senjata bagi laki-laki di padukuhan ini merupakan kelengkapan pakaian mereka.” “Hanya sekedar kelengkapan?” “Ya.” “Apakah ada ancaman dari mereka yang memasang pertanda di padang perdu itu, sehingga padukuhan ini harus membuat dinding yang tinggi, serta setiap laki-laki harus membawa senjata?” “Tidak, kau dengar?” bentak seorang di antara kedua orang anak muda itu. “Sudah aku katakan, senjata adalah sekedar kelengkapan pakaian bagi kami. Laki-laki yang tidak membawa senjata, menurut adat di padukuhan ini dianggap pengecut. Sekali lagi aku katakan, kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa.” “Maaf, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih, “sebenarnyalah aku menjadi ketakutan. Apalagi istriku ini. Itulah sebabnya maka kami berjalan dengan ragu-ragu di jalan utama padukuhan ini. Dalam ketakutan, kami memperhatikan setiap regol halaman, karena kami mengira bahwa tiba-tiba saja kami akan mendapat perlakuan yang kurang baik.” “Jika kau terlalu banyak berbicara, maka kalian berdua justru akan mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika kalian berdua tidak segera pergi, maka mungkin sekali kalian akan benar-benar kami tangkap.” “Baik, baik. Kami minta diri, Ki Sanak.” Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera meninggalkan kedua orang anak muda yang menjadi marah itu. Agaknya pertanyaan-pertanyaan Glagah Putih telah menyinggung perasaan mereka. Ternyata padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan waktu beberapa lama untuk mencapai ujung jalan utama yang lain. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di luar pintu gerbang padukuhan di ujung yang lain itu. Namun di sepanjang jalan utama, keduanya memang merasakan bahwa orang-orang padukuhan itu yang melihat mereka berdua nampak menjadi curiga. Bahkan beberapa orang anak muda sengaja berdiri di pinggir jalan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan lewat Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka bergeser melekat dinding halaman ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di depan mereka. “Selamat siang, Ki Sanak,” Glagah Putih pun memberikan salam kepada anak-anak muda itu. Ternyata ada di antara anak-anak muda itu yang menyahut, “Selamat siang.” “Tentu sesuatu telah terjadi di padukuhan itu,” desis Rara Wulan. “Suasananya terasa tegang. Semua orang rasa-rasanya siap untuk bertempur.” “Agaknya ada hubungannya dengan pertanda yang pernah kita lihat di padang perdu itu, meskipun mereka mengatakan tidak.” “Ya. Agaknya memang demikian. Agaknya padukuhan ini telah bermusuhan dengan penghuni ujung hutan itu untuk waktu yang lama.” “Jika permusuhan itu tidak kunjung berakhir, maka tatanan kehidupan di padukuhan itu pun akan selalu dibayangi oleh kecemasan. Setiap saat orang-orang di ujung hutan itu dapat datang menyerang. Bahkan mungkin mereka dapat berbuat jahat terhadap orang-orang yang sedang berada di sawah atau perempuan yang pergi ke pasar.” “Jika permusuhan itu sudah berlangsung lama, maka penghuni padukuhan itu pun tentu sudah dapat menyesuaikan diri.” “Tetapi anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam suasana yang tegang itu akan dapat terpengaruh. Sifat dan wataknya pun akan dibentuk dalam suasana permusuhan.” Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan semakin jauh dari padukuhan yang berdinding tinggi itu. Mereka menempuh jalan bulak yang panjang untuk sampai ke padukuhan yang lain. Panas matahari terasa semakin membakar kulit. Pohon-pohon perindang menjadi semakin jarang. Agaknya padukuhan berikutnya tidak begitu tertarik untuk menanam pohon turi di pinggir jalan bulak. Yang ditemui oleh Glagah Putih adalah justru pohon gayam. Tetapi jarak batang gayam yang satu dengan yang lain agak panjang. Namun daun gayam memang lebih rimbun dari daun turi. Tetapi semakin besar batangnya, maka akar-akarnya akan membuat pangkal batangnya menjadi besar, sehingga mengurangi lebar jalan. Bahkan di sisi lain akan dapat mengganggu tanggul parit. Keduanya pun terhenti sejenak, ketika mereka berada di atas sebuah jembatan kayu yang menyilang susukan yang airnya cukup deras. Agaknya air di susukan itu tidak pernah kering meskipun di musim kemarau. “Susukan inilah yang agaknya membuat daerah ini nampak subur,” desis Glagah Putih. “Ya. Tanahnya subur, sehingga tanaman di sawah pun nampak subur. Tetapi suasana tegang di padukuhan itu terasa agak mengganggu.” Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka mendengar suara anak-anak yang berteriak-teriak. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang remaja berdiri di atas tanggul. Ternyata para remaja itu tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Tetapi mereka melempari batu ke arah seberang susukan. Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang remaja yang lain berada di seberang susukan. Namun mereka tidak membalas. Mereka justru pergi menjauhi susukan itu. Agaknya remaja di seberang susukan itu sedang menunggui burung yang dapat merampas hasil panenan mendatang. Karena yang berterbangan di atas batang padi yang mulai merunduk itu bukan saja sepuluh dua puluh, tetapi sekelompok burung pipit, sehingga menyerupai awan yang kelabu bergerak rendah dan cepat di atas batang-batang padi. “Apa yang sebenarnya terjadi?” desis Rara Wulan. “Para remaja yang melempari batu itu tentu remaja dari padukuhan yang baru saja kita lewati.” “Ya. Mereka pun bersenjata. Mereka membawa parang atau pedang atau senjata-senjata yang lain.” Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja termangu-mangu menyaksikan beberapa orang remaja yang melempari batu itu. Tetapi ketika beberapa orang remaja di seberang susukan itu pergi, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa saat mereka masih berdiri di atas tanggul. Namun kemudian ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka pun berlari-lari mendatanginya. “Apa yang akan mereka perbuat?”desis Rara Wulan. “Entahlah.” “Apakah kita harus lari untuk menghindari mereka?” “Tidak, Rara. Kita akan berada di sisi lain dari jembatan ini. Maksudku di seberang susukan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut dan berdiri di ujung jembatan. Ternyata anak-anak remaja itu tidak mau mendekati mereka. Mereka berhenti di ujung jembatan yang lain. “Bukankah kalian yang kami jumpai di padukuhan kami tadi?” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Mereka teringat kepada beberapa orang remaja bersenjata yang menggiring binatang peliharaan mereka. Mereka tidak sekedar membawa alat-alat untuk menyabit rumput, tetapi mereka benar-benar membawa pedang atau senjata yang lain. “Sekarang kalian akan pergi kemana?” “Kami adalah pengembara. Kami berjalan saja tanpa tujuan.” “Apakah kalian telik dari Kademangan Prancak di pinggir Kali Elo?” “Kademangan Prancak?” “Ya. Yang bersebelahan dengan Kademangan Payaman.” “Tidak, anak-anak. Kami adalah pengembara. Kami belum pernah tinggal di Kademangan Prancak. Apakah kademangan Prancak masih jauh?” “Kalian sekarang berada di Kademangan Prancak.” Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Baru kemudian dengan nada datar Glagah Putih berkata, “Jika aku sekarang berada di Kademangan Prancak, kenapa kalian bertanya apakah aku telik dari Kademangan Prancak? Bukankah kalian telah mengenal orang-orang Kademangan Prancak? Jika kalian belum mengenal, kakak-kakak kalian atau ayah kalian atau siapapun yang melihat kami, tentu akan dapat mengenali kami.” “Yang menjadi telik bagi Kademangan Prancak tidak harus orang Prancak. Orang Prancak dapat mengupah orang yang tidak dikenal di padukuhan kami, untuk melihat sejauh mana kesiapan kami menghadapi Kademangan Prancak.” “Aku menjadi bingung, tole. Aku tidak tahu apa yang kau maksud?” Anak itu masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba saja kawannya menariknya sambil berkata, “Sudahlah. Jika mereka tidak tahu, biar saja tidak tahu. Kita kembali ke kambing-kambing kita.” Anak-anak remaja itu pun segera berlari menghambur meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. “Apakah yang dimaksud anak-anak itu?” desis Rara Wulan. “Masih belum jelas, Rara. Tetapi yang aku tangkap adalah satu kenyataan bahwa ada gejolak di Kademangan Prancak.” “Ternyata padukuhan itu tidak mempersiapkan diri atau justru dalam permusuhan yang lama dengan orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Tetapi justru persoalan yang tumbuh di Kademangan Prancak ini sendiri.” Selagi Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu, mereka melihat beberapa orang anak remaja dari seberang susukan itu mendatangi mereka pula. Tetapi sikap mereka agak berbeda. Anak-anak dari seberang susukan itu nampak ragu-ragu, meskipun mereka berjalan terus ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan. “Nampaknya mereka tidak bersikap bermusuhan,” desis Rara Wulan. “Ya. Meskipun demikian, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sesuatu yang tidak pernah kita duga akan terjadi.” Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Mereka tidak beringsut lagi dari tempat mereka berdiri di seberang jembatan. Agaknya anak-anak itu mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan anak-anak padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Beberapa langkah dari Glagah Putih dan Rara Wulan, beberapa orang anak remaja itu berhenti. Mereka nampak semakin ragu-ragu. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Kemarilah. Mendekatlah. Mungkin kita dapat berbincang.” Anak-anak itu masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian dua orang di antara mereka pun melangkah mendekat, sedangkan yang lain berdiri saja seakan-akan membeku di tempatnya. “Paman dan Bibi,” bertanya seorang di antara kedua orang remaja yang mendekat itu, “siapakah Paman dan Bibi?” “Kami adalah pengembara, tole. Kami kebetulan saja lewat Kademangan Prancak ini.” “Apakah Paman dan Bibi belum mengenal anak-anak yang tadi menemui Paman dan Bibi?” “Belum,” jawab Glagah Putih, “kami belum mengenal mereka. Tetapi kami tadi melihat mereka di padukuhan sebelah.” “Padukuhan Babadan.” “Jadi padukuhan itu namanya padukuhan Babadan?” “Ya,” jawab anak itu. “Apakah kalian bermusuhan dengan anak-anak Babadan, sehingga mereka melempari kalian?” “Babadan menganggap kami sebagai musuh-musuh. Bukan hanya anak-anak sebaya kami, tetapi juga orang-orang tua kami.” “Kenapa?” “Padukuhan Babadan sebenarnya termasuk lingkungan Kademangan Prancak. Tetapi dua padukuhan besar, yang satu di antaranya adalah Babadan, menyatakan bahwa seharusnya padukuhan induk Kademangan Prancak itu adalah Babadan. Demangnya harus orang Babadan, sementara padukuhan-padukuhan lain akan menjadi wilayah Kademangan Prancak, yang padukuhan induknya adalah padukuhan Babadan.” “Apakah dengan demikian, maka orang-orang Babadan memusuhi orang-orang padukuhan lain di Kademangan Prancak?” “Ya. Anak-anak Babadan juga memusuhi kami.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Persoalan yang timbul di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Tetapi apakah perselisihan yang terjadi di Prancak itu sudah demikian parahnya sehingga orang-orang Babadan telah membangun dinding padukuhan yang tinggi serta membekali setiap orang dengan senjata? Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika seorang di antara kedua orang remaja itu bertanya, “Apakah Paman dan Bibi akan singgah di padukuhan kami?” “Dimana padukuhanmu?” “Kami tinggal di padukuhan itu, padukuhan Karang Lor.” Glagah Putih dan Rara Wulan memandang ke arah remaja itu menunjuk. Sebuah padukuhan di seberang bulak. Nampaknya juga sebuah padukuhan yang besar, sebesar padukuhan Babadan. Namun agaknya gaya hidup orang Karang Lor berbeda dengan gaya hidup orang Babadan, meskipun sebenarnya keduanya termasuk satu kademangan. “Jika kami singgah di padukuhanmu, apakah kami tidak dicurigai sebagaimana kami berada di Babadan?” “Seandainya demikian, bukankah Paman dan Bibi dapat menjelaskan siapakah Paman dan Bibi sebenarnya ? Bukankah Paman dan Bibi dapat mengatakan bahwa Paman dan Bibi adalah seorang pengembara?” Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Jika keberadaan mereka di padukuhan Karang Lor justru menimbulkan persoalan, maka persoalan itu akan dapat menghambat perjalanan mereka. Namun seorang di antara kedua orang remaja yang mendekatinya itu berkata sambil menepuk bahu kawannya, “Anak ini adalah anak bebahu padukuhan Karang lor. Ayahnya seorang Kebayan.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. “Bagaimana pendapatmu, Rara?” bertanya Glagah Putih. “Agaknya tidak ada salahnya jika kita singgah di Karang Lor. Tetapi tentu tidak terlalu lama.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada kedua orang anak yang menemuinya, sementara kawan-kawannya memandangi dari kejauhan, “Apakah kalian akan pulang?” “Kami menunggui burung di sawah. Burung pipit itu mencuri padi-padi kami.” Namun kawannya itu berkata, “Aku akan mengantarkan Paman dan Bibi, jika Paman dan Bibi akan singgah di Karang Lor.” Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada berat Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Aku akan singgah di rumahmu.” Remaja itu pun mengajak seorang kawannya yang lain untuk menemaninya pergi ke padukuhan. Remaja itu adalah anak yang disebut ayahnya seorang Kebayan. Sambil berjalan menuju ke padukuhan, Rara Wulan pun bertanya, “Apakah kalian sering berkelahi dengan anak-anak Babadan?” “Tidak, Bibi,” jawab anak Ki Kebayan itu, “tetapi setiap kali kami bertemu, mereka tentu melempari batu. Agaknya jika ada seorang di antara kami yang berani pergi ke seberang susukan, maka mereka benar-benar akan memukuli kami.” “Apakah susukan ini merupakan batas antara Karang Lor dengan Babadan?” “Ya. Sekarang menjadi batas antara dua padukuhan yang memisahkan diri dari Kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang lain, sampai susukan ini keluar dari Kademangan Prancak dan mengairi sawah di daerah Payaman.” “Sedangkan susukan ini sendiri?” “Semua pihak menghormati susukan ini, karena susukan ini mengairi kademangan-kademangan lain pula.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara mereka berjalan terus bersama dua orang remaja, menuju ke padukuhan yang sudah berada tidak jauh di hadapan mereka. “Padukuhan kalian ternyata juga termasuk padukuhan yang besar, sebagaimana padukuhan Prancak,” berkata Glagah Putih kemudian. “Ya, Paman. Padukuhan kami hampir sama besar dengan padukuhan Prancak.” “Bagaimana dengan jumlah penghuninya? Manakah yang lebih banyak?” Anak itu menggeleng sambil menjawab, “Entahlah, Paman. Aku tidak tahu.” Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sementara itu mereka sudah berada tidak jauh lagi dari gerbang padukuhan. Namun dinding padukuhan Karang Lor itu tidak dibuat setinggi dinding padukuhan Prancak. “Apakah orang-orang Karang Lor lebih garang dari orang-orang Prancak? Apakah justru orang-orang dari Karang Lor-lah yang sering mendatangi orang-orang Prancak?” bertanya Glagah putih di dalam hatinya. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bersama kedua orang remaja itu telah memasuki padukuhan Karang Lor. Demikian mereka masuk, maka mereka pun merasakan perbedaan suasana dengan padukuhan Prancak. Rasa-rasanya tidak ada ketegangan di padukuhan Karang Lor. Anak-anak bermain-main di jalan-jalan padukuhan dengan riuhnya. Para remajanya, bahkan anak-anak mudanya, tidak membawa senjata di lambungnya. “Jika Prancak memusuhi seluruh kademangan, mereka tentu juga memusuhi padukuhan ini. Tetapi kenapa di padukuhan ini sama sekali tidak nampak nafas permusuhan itu, sehingga padukuhan Karang Lor ini nampaknya tetap tenang-tenang saja?” Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa mereka tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan jika mereka bertanya kepada remaja yang mengantar mereka itu. Karena itu, Glagah Putih menyimpan pertanyaannya sehingga ia dapat bertemu dengan Ki Kebayan. Ayah remaja yang mengantarkannya itu. Demikian mereka melangkah beberapa puluh langkah memasuki padukuhan Karang Lor, maka remaja yang mengantarkan mereka itu pun berhenti di depan sebuah regol halaman yang terhitung luas. “Ini rumahku, Paman,” berkata seorang di antara kedua remaja itu. “O,” Glagah Putih mengangguk-anggukm “apakah ayahmu ada di rumah?” “Ketika aku berangkat ke sawah, Ayah ada di rumah. Mungkin sekarangpun Ayah masih ada di rumah.” Sebelum Glagah Putih menyahut, anak itu pun telah berlari memasuki halaman rumahnya, langsung masuk lewat pintu seketheng. Anak yang seorang lagi itu pun berkata, “Silahkan masuk, Paman dan Bibi.” Glagah putih dan Rara Wulan tersenyum. Ternyata unggah-ungguh anak itu pun cukup baik. Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Kebayan, maka Ki Kebayan telah keluar dari pintu pringgitan bersama anak laki-lakinya yang sudah remaja itu. “Marilah, silahkan, Ki Sanak,” Ki Kebayan itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa. Ketika Glagah putih dan Rara Wulan kemudian duduk di pringgitan bersama Ki Kebayan, maka anak Ki Kebayan itu sudah berlari menghambur ke halaman. Bersama kawannya anak itu pun berlari keluar regol dan turun ke jalan. Agaknya mereka akan kembali ke sawah, menunggui burung yang sering mencuri padi yang sudah hampir tua itu. Di pringgitan, Ki Kebayan itu pun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Ki Sanak berdua, anakku itu tidak sempat mengatakan apa-apa kepadaku tentang Ki Sanak. la hanya mengatakan bahwa ada tamu di depan. Lalu ia berlari pergi seperti yang Ki Sanak lihat.” “Kami bertemu dengan anak itu di sawah, Ki Kebayan. Bukankah aku berbicara dengan Ki Kebayan?” “Ya. Aku adalah kebayan padukuhan Karang Lor.” “Anak itulah yang mengatakan kepadaku, bahwa ayahnya adalah seorang Kebayan.” “Ya.” “Apa yang kami lihat di sawah telah membuat kami tertarik untuk singgah.” “Apa yang Ki Sanak lihat?” “Anak-anak Prancak telah melempari batu anak-anak Karang Lor dari seberang susukan.” “Apakah anak-anak Karang Lor membalas?” “Tidak, Ki Kebayan. Selain itu, banyak hal yang menarik perhatian kami di sepanjang perjalanan kami.” “Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini?” “Kami adalah suami istri yang sedang mengembara, Ki Kebayan. Kami tidak mempunyai tujuan. Kami berjalan menurut keinginan kaki kami.” Ki Kebayan itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia pun bertanya, “Ki Sanak berdua ini berasal dari mana?” “Kami berasal dari Jati Anom.” “Jati Anom dekat Gederan, Ngupit, Macanan, Sangkal Putung?” “Ki Kebayan mengenal daerah itu dengan baik.” “Ya. Aku sering pergi ke Macanan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ya. Aku berasal dari Jati Anom. Ayahku orang Banyu Asri.” “Jadi kalian bukan seorang pengembara yang berasal dari ujung negeri ini, atau justru dari seberang lautan. Asal kalian dekat saja. Jati Anom.” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Ya. Kami memang baru mulai. Jarak yang kami tempuh memang baru pendek saja.” “Lalu, apakah kalian mempunyai tujuan, setidak-tidaknya arah perjalanan?” “Kami akan pergi ke selatan, lewat Tanah Perdikan Menoreh.” “Jadi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya, Ki Kebayan.” “Lalu?” “Entahlah,” jawab Glagah Putih. “Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak terlalu jauh lagi. Tetapi jalannya tidak begitu menyenangkan untuk dilewati. Kalian akan melewati jalan-jalan yang rumit, padang perdu, bahkan hutan yang lebat. Namun sekali-kali kalian akan melewati padukuhan yang ramai, seperti padukuhan-padukuhan di Kademangan Prancak ini.” “Ya, Ki Kebayan. Kami sudah siap menempuh jalan yang bagaimanapun rumitnya. Namun daerah yang rumit itu justru tidak banyak menarik perhatian. Daerah yang sulit itu tidak akan banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, kecuali mungkin keluhan karena kami harus mengerahkan banyak tenaga.” “Apa maksudmu, Ki Sanak?” “Ki Kebayan. Seperti sudah aku katakan, aku menjadi heran melihat hubungan antara padukuhan Karang Lor dengan padukuhan Babadan di seberang susukan.” Ki Kebayan menarik nafas panjang. Katanya, “Hubungan kami memang tidak begitu baik, Ki Sanak.” “Bukankah Babadan dan Karang Lor ini sama-sama berada di Kademangan Prancak?” “Ya.” “Kenapa permusuhan itu dapat terjadi?” “Jangankan dua padukuhan di satu kademangan, sedangkan saudara kandung yang tinggal serumah saja dapat saling bermusuhan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Kebayan benar. Tetapi persoalan yang timbul antara Karang Lor dan Babadan akan dapat menimbulkan banyak masalah bagi Kademangan Prancak.” “Persoalannya itu sebenarnya bukan antara Karang Lor dan Babadan, tetapi antara Babadan dan seluruh Kademangan Prancak. Karena padukuhan Karang Lor itu juga berada di Kademangan Prancak. Tetapi orang-orang Karang Lor tidak mau mendukung niat orang-orang Babadan, yang menurut pendapat orang-orang Karang Lor tidak masuk akal, maka orang-orang Babadan menjadi marah dan memusuhi Karang Lor. Tetapi kami tidak bersikap bermusuhan seperti orang-orang Babadan. Kami tetap saja bersikap wajar.” “Apakah sikap Karang Lor tercermin pada sikap anak-anak itu, Ki Kebayan? Meskipun mereka dilempari batu, tetapi mereka tidak akan membalas. Yang mereka lakukan hanya menjauh dan menghindari benturan kekerasan.” “Ya. Itulah yang kami lakukan. Kami tidak merasa perlu untuk mempergunakan kekerasan.” “Kalau orang-orang Babadan mempergunakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka terhadap anak-anak Karang Lor?” “Jika kami tidak melayani mereka, apa yang akan mereka lakukan? Sampai sekarang, orang-orang Babadan tidak berbuat apa-apa terhadap kami, meskipun mereka sudah mempersiapkan diri untuk memaksakan kehendak mereka terhadap Kademangan Prancak.” “Tetapi bukankah orang-orang Babadan telah melanggar paugeran, karena mereka ingin merebut kekuasaan atas Prancak?” “Ya.” “Kenapa orang-orang Karang Lor tidak bersikap tegas saja?” “Maksudmu menentang kekerasan dengan kekerasan?” “Ya.” “Tidak. Kami tidak akan melakukannya. Ternyata orang-orang Babadan juga tidak melakukan kekerasan terhadap kami.” “Baru saja aku melihat anak-anak Babadan melempari batu anak-anak Karang Lor.” “Mereka hanya anak-anak.” “Tetapi jika itu cermin sikap orang tuanya, sebagaimana anak-anak Karang Lor yang merupakan cermin sikap orang tua mereka, maka pada suatu saat orang-orang Babadan akan datang dan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.” Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Tidak, mereka tidak akan melakukannya terhadap orang-orang Karang Lor. Mungkin terhadap padukuhan lain di Kademangan Prancak.” “Jadi orang-orang Karang Lor akan tetap saja mengambang?” “Sudahlah, Ki Sanak. Kalian bukan apa-apa di sini. Kalian bukan orang Karang Lor. Bahkan kalian bukan orang Kademangan Prancak. Jika kalian ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, silahkan. Kalian tidak usah mengurusi kami, orang-orang Karang Lor. Bahkan orang-orang Kademangan Prancak. Biarlah kami menentukan sikap kami sendiri sesuai dengan kehendak kami.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah, Ki Kebayan. Aku minta maaf. Sebenarnyalah kami hanya ingin tahu apa yang telah bergejolak di padukuhan ini.” Ki Kebayan itu menarik nafas panjang. Katanya, “Itu akan lebih baik bagimu, Ki Sanak. Selamat jalan.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka merasa bahwa Ki Kebayan itu menginginkah mereka berdua segera pergi. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera turun dari pendapa. Sekali lagi mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat empat orang berkuda memasuki halaman rumah itu tanpa turun dari kudanya. Tiba-tiba saja wajah Ki Kebayan menjadi pucat. Di luar sadarnya ia pun berdesis, “Ki Jagabaya Babadan.” Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar desis Ki Kebayan itu. Karena itu, maka mereka pun menjadi berdebar-debar pula. Yang datang itu adalah Ki Kebayan Babadan. Menilik ujudnya, Ki Kebayan Babadan adalah seorang yang seram. Wajahnya yang keras menunjukkan kekerasan hatinya pula. Kumisnya yang melintang di bawah hidungnya. Matanya yang tajam seperti mata burung hantu. “Ki Kebayan,” suara Ki Jagabaya Babadan itu bagaikan menggetarkan halaman rumah Ki Kebayan, “kau sembunyikan telik sandi dari Prancak ini?” “Siapakah yang kau tuduh sebagai telik sandi dari Prancak?” “Kedua orang ini. Kedua orang laki-laki dan perempuan ini.” “Bagaimana mungkin aku menyembunyikan mereka? la ada di sini sekarang, di hadapanmu.” “Kalau aku tidak segera datang, maka kedua orang ini tentu tidak akan aku ketemukan.” “Kenapa kau menuduh mereka telik sandi dari Prancak, sedangkan mereka adalah orang-orang yang tidak aku kenal? Karena itu, maka untuk apa aku menyembunyikan orang yang tidak aku kenal?” “Jika saja Karang Lor bersikap seperti padukuhan-padukuhan lain, maka aku akan membunuhmu. Tetapi Karang Lor bersikap lain, maka aku akan membiarkan kau hidup. Tetapi aku akan membawa kedua orang ini.” “Apakah benar mereka telik sandi orang Prancak?” “Tentu. Mereka memang bukan orang Prancak. Tapi mereka tentu diupah oleh Demang Prancak yang sekarang, untuk mengamati padukuhan Babadan dan sekitarnya. Agaknya ia sudah melakukannya dengan baik. la berhasil mengelabui anak muda kami yang lugu dan jujur. Anak-anak muda kami tidak akan mempertimbangkan kemungkinan orang dapat berlaku licik seperti mereka berdua.” “Terserah saja kepada Ki Jagabaya Babadan, apa yang akan kau lakukan terhadap kedua orang itu. Aku tidak tahu menahu tentang keduanya.” “Bagus, Ki Kebayan. Sebaiknya kau memang tidak menghalangi aku. Siapa yang mencoba menghalangi aku, akan mengalami nasib buruk seperti orang-orang yang berada di sawah itu.” “Siapa? Orang-orang Karang Lor?” “Bukan. Bukan orang-orang Karang Lor. Mereka adalah orang-orang Wijil. Orang-orang yang sombong, yang merasa orang di seluruh jagad ini tidak ada yang mampu menandingi kemampuan mereka.” “Apa yang telah kau lakukan terhadap orang-orang padukuhan Wijil?” “Lima orang Wijil mencoba untuk menangkap kami berempat, karena mereka menganggap kami telah berani melintasi jembatan pada susukan itu. Mereka tidak mau mengerti, bahwa kami sedang memburu dua orang petugas sandi dari Prancak yang mengamati padukuhan Babadan.” “Apa yang kemudian terjadi atas orang-orang Wijil itu?” “Aku tak tahu, apakah mereka mati, pingsan atau terluka parah.” Ki Kebayan menarik nafas panjang. “Sekarang, jangan halangi aku membawa kedua orang ini. Bukankah kedua orang ini yang baru saja melintasi jembatan di atas susukan itu? Bukankah mereka berdua yang baru saja melewati jalan utama padukuhan Babadan?” “Bertanyalah sendiri kepadanya,” berkata Ki Kebayan, “aku baru saja mengusirnya untuk meninggalkan Karang Lor.” “Kau mengusirnya?” “Ya.” “Kenapa?” “la berusaha untuk menghasut aku, agar aku melakukan perlawanan terbuka terhadap Babadan.” “Nah, bukankah tuduhan kami benar, bahwa keduanya adalah petugas sandi dari Prancak, yang bukan saja harus mengamati padukuhan Babadan, tetapi juga menghasut permusuhan.” “Mungkin kau benar.” “Baiklah, Ki Kebayan. Aku akan membawa keduanya. Jika keduanya berbuat macam-macam di jalan, kami akan bertindak tegas. Nyawa keduanya memang tidak berharga bagi kami.” “Terserah kepada kalian.” Ki Jagabaya Babadan itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Ikut kami. Jangan membantah.” “Tetapi kami tidak merasa melakukan pengamatan di Babadan. Kami bukan telik sandi dari Prancak. Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di Kademangan Prancak.” “Jangan banyak bicara. Ikut kami, atau kami harus melakukan kekerasan terhadap kalian berdua.” Ketika Rara Wulan memandang Glagah Putih untuk minta pertimbangan, ia melihat Glagah Putih mengangguk kecil. Karena itu, maka Rara Wulan pun tidak berbuat apa-apa, selain mengikuti Glagah Putih sambil berpegang lengannya. Ki Jagabaya dari Babadan itu pun kemudian membentak, “Ayo jalan! Kita pergi ke Babadan.” Glagah Putih tidak melawan. la pun berjalan ke regol halaman. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan suaminya. “Kami tidak bersalah, Ki Sanak.” berkata Glagah Putih sambil turun ke jalan di depan rumah Ki Kebayan. “Diam!” bentak Ki Jagabaya dari Babadan, “kami tidak pernah memaafkan orang-orang yang telah menjual dirinya menjadi telik sandi di Babadan.” “Apakah sebelum kami, Ki Jagabaya sudah pernah menangkap orang yang menjadi telik sandi di Babadan?” “Jangan pura-pura tidak tahu. Kami telah menghukum mati lima orang yang telah diupah oleh orang-orang Prancak untuk menjadi telik sandi di Babadan.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata sudah ada korban yang jatuh karena tuduhan itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan sepanjang jalan utama padukuhan Karang Lor menuju ke pintu gerbang. Beberapa orang sempat menyaksikannya dari balik pintu regol halaman mereka masing-masing yang sedikit terbuka. “Mereka telah terjerumus ke dalam nasib buruk,” desis orang-orang Karang Lor yang sempat melihat keduanya digiring oleh empat orang berkuda. Orang-orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah membentak-bentak mereka pula, agar mereka berjalan lebih cepat. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di bulak panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki berada di bulak panjang itu. Mereka ternyata sedang mengerumuni beberapa sosok tubuh yang terbaring di pinggir jalan. Agaknya orang-orang itulah yang dikatakan oleh Ki Jagabaya Babadan. Lima orang dari padukuhan Wijil yang mencoba menangkap Ki Jagabaya serta ketiga orang yang berkuda bersamanya itu. Namun ketika mereka melihat empat orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan. maka orang-orang itu pun menyibak. “Jangan berbuat bodoh,” berkata Ki Jagabaya Babadan. “Jika kalian menghalangi aku, maka nasib kalian akan sama seperti kelima orang kawanmu yang dungu itu.” Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan sebelah-menyebelah itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian.” “Apa yang akan kalian lakukan?” “Menangkap kalian berempat.” Keempat orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Kalian berani mencoba menangkap kami berempat? Apakah kulit kalian sudah berlapis besi baja? Bukankah kalian tahu bahwa Jagabaya Babadan adalah seorang yang tidak terkalahkan? Padahal aku sekarang berada di sini bersama tiga orang kawanku.” “Sejak kapan kau menjadi Jagabaya Babadan?” jawab orang yang berdiri di pinggir jalan itu. “Pertanyaan yang bodoh. Aku adalah Jagabaya Babadan. Ki Bekel Babadan sudah mengakui kedudukanku. Sebentar lagi aku akan menjadi Jagabaya Kademangan Babadan. Semua padukuhan di Kademangan Prancak sekarang harus mengakui kepemimpinan Demang yang baru, yang berkedudukan di Babadan.” “Omong kosong,” sahut orang yang berdiri di pinggir jalan. “Kau kira kami tidak tahu siapakah kalian? Kalian bahkan bukan orang Babadan, bukan pula orang Prancak.” Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Ketiga orang kawannya pun tertawa pula. Glagah Putih dan Rara Wulan mulai mengenali persoalannya sedikit demi sedikit. Jika orang yang disebut Ki Jagabaya itu bukan orang Babadan, maka mereka pun segera menghubungkan jejak kaki kuda yang berada di jalan setapak, di padang perdu yang menghubungkan Babadan dengan daerah yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang yang bersarang di ujung hutan, yang tentu bukan orang baik-baik. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum dapat mengambil kesimpulan apapun juga. Dalam pada itu, Ki Jagabaya Babadan itu pun berkata, “Minggir. Aku sedang membawa dua orang tawanan, karena mereka adalah telik sandi yang telah kalian upah untuk mengamati keadaan di Babadan. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal. Tetapi jika kalian mencoba untuk melindunginya, maka kalian akan mengalami nasib buruk seperti kawan-kawanmu itu.” “Kau mencoba menakut-nakuti kami?” “Bukan sekedar menakut-nakuti. Kau sudah melihat akibat perbuatan kawan-kawanmu itu. Untunglah bahwa agaknya mereka belum benar-benar mati meskipun terluka parah. Tetapi untuk melawan orang yang jumlahnya lebih banyak, maka kami akan menjadi lebih garang lagi.” “Kau kira kami menjadi ketakutan?” Ki Jagabaya Babadan itu pun kemudian menggeram, “Jadi kalian benar-benar ingin menangkap kami?” “Ya. Kalian telah berani melanggar batas yang untuk sementara kita buat di antara kita. Susukan ini.” “Sudah berapa kali kalian mencoba melakukannya atas bebahu padukuhan Babadan. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Kenapa kalian tidak pernah menjadi jera?” “Kami memang tidak akan pernah menjadi jera, sebelum tatanan pemerintahan di Prancak ini berjalan sebagaimana seharusnya. Kehadiran kalian di Babadan telah banyak menimbulkan masalah.” “Aku peringatkan sekali lagi, jangan halangi kami. Kedua orang ini adalah telik sandi. Kami berhak menangkap mereka.” “Kami tidak mengenal mereka berdua. Yang kami persoalkan adalah keberadaan kalian di sini.” “Kalian telah menyebut siapakah kami. Seharusnya kalian sadari, bahwa kami tidak akan dapat dihentikan. Jika kalian berkeras melakukannya, adalah pertanda kematian bagi kalian.” Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu pun kemudian telah memencar. Mereka terdiri dari sembilan orang laki-laki yang tubuhnya nampak kokoh. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda. Yang lain sudah lebih tua dan berbekal pengalaman. Empat orang itu pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan tenangnya mereka menambatkan kudanya pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu. Seorang di antara mereka berkata dengan suara yang gemuruh, “Kalian akan menyesali kesombongan kalian. Jika kulit kami tergores meskipun hanya seujung duri oleh senjata-senjata kalian, maka itu adalah pertanda bahwa perubahan yang akan terjadi di Prancak menjadi lebih cepat. Kami akan segera mengambil langkah-langkah yang lebih pasti menyongsong perubahan yang bakal datang itu.” Orang Prancak itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami juga dapat menakut-nakuti kalian. Meskipun kami tahu siapakah kalian sebenarnya, tetapi kami sudah bertekad untuk menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Demang di Prancak. Kalian dan semua bebahu Babadan, terutama kawan-kawan kalian, akan segera diadili, karena kalian telah mengacaukan tatanan kehidupan di Prancak.” Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Katanya, “Baik, baik. Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan cara terbaik.” Ki Jagabaya itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kalian berdiri saja di pinggir jalan. Jangan mencoba-coba berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki. Jangan mencoba berpihak dan jangan mencoba melarikan diri. Jika kalian mencobanya juga, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk dari orang-orang Prancak ini.” Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser dan berdiri di atas tanggul parit di pinggir jalan. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan Glagah Putih. Orang-orang Prancak itu memandangi mereka dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak sempat bertanya tentang diri mereka. Mereka pun tidak tahu kenapa orang-orang yang mengaku bebahu padukuhan Babadan itu menuduh mereka sebagai petugas sandi dari Prancak. “Apakah Ki Demang memang mengirimkan mereka?” bertanya orang-orang itu di dalam hatinya. Sementara itu, kedua belah pihak pun telah bersiap. Senjata yang ada di tangan mereka pun mulai bergetar. Keempat orang penunggang kuda yang mengaku orang-orang Babadan itu pun telah menarik senjata mereka pula. Dua orang di antara mereka bersenjata pedang, seorang bersenjata golok dan seorang lagi membawa bindi. Dalam pada itu, lima orang yang telah terluka parah dan yang telah diangkat menepi oleh tetangga-tetangganya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Bahkan masih ada seorang yang belum sadarkan diri. Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di antara mereka. Orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itu pun menyerang bersama-sama dari beberapa arah. Ternyata ada juga di antara orang-orang Prancak itu yang berbekal ilmu kanuragan. Mereka telah memimpin tetangga-tetangga mereka memberikan perlawanan terhadap keempat orang berkuda yang mengaku orang-orang Babadan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang semula bersarang di ujung hutan itu. Meskipun di antara orang-orang Prancak terdapat orang-orang yang memiliki bekal olah kanuragan. namun ternyata dalam waktu yang singkat para penunggang kuda itu telah mulai mendesak mereka. Orang-orang berkuda itu bertempur dengan garangnya. Mereka pun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya mereka telah memiliki pengalaman yang luas pula. Karena itu, maka justru orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itulah yang mulai tergores senjata. Pakaian mereka mulai terkoyak dan bahkan tubuh mereka mulai terluka. Agaknya keempat orang yang mengaku orang Babadan itu benar-benar marah terhadap orang-orang Prancak. Mereka nampaknya tidak lagi berusaha untuk menghindari kematian. Ketika seorang diantara orang-orang Prancak itu terlempar ke tanggul parit dengan luka yang tergores menyilang di dadanya, Glagah Putih dengan serta merta telah menolongnya. Tetapi seorang di antara orang-orang berkuda itu berteriak, “Biarkan saja orang itu mati! Kau sudah diperingatkan, jangan berpihak!” Namun Glagah Putih pun menjawab, “Orang ini dapat tercebur ke dalam parit. Meskipun airnya tidak begitu deras, tetapi menilik keadaannya, maka ia akan dapat mati terbenam di dalam air di parit itu.” “Sudah aku katakan, biar saja orang itu mati!” Glagah Putih termangu-mangu. Namun diletakkannya orang itu di sisi tanggul, sehingga orang itu tidak akan dapat terguling dan tercebur ke dalam parit yang mengalir itu. Namun kepada Rara Wulan yang berjongkok di sampingnya itu pun Glagah Putih berbisik, “Marilah kita melarikan diri menyeberangi jembatan itu.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Setidak-tidaknya seorang atau dua orang akan mengejar kita. Dengan demikian, maka beban orang-orang Prancak akan menjadi lebih ringan.” “Aku mengerti maksud Kakang,” sahut Rara Wulan. “Nah, jangan menunggu orang-orang Prancak menjadi lebih parah. Mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan terhadap empat orang sekaligus.” Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba saja bangkit berdiri. Jembatan di atas susukan yang membelah Kademangan Prancak itu sudah kelihatan tidak terlalu jauh lagi. Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun melarikan diri mereka menuju ke jembatan. Orang-orang yang mengaku orang Babadan itu terkejut melihat kedua tawanan mereka berlari. Karena itu, maka dengan serta-merta Ki Jagabaya Babadan itu memerintahkan dua orang kawannya untuk mengejar. Dengan demikian, maka yang bertempur melawan delapan orang Prancak tinggal dua orang saja. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Prancak itu mulai dapat menempatkan diri mereka dengan lebih mapan. Terutama mereka yang memang memiliki bekal olah kanuragan. Sementara itu, dua orang yang lain telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata perempuan yang selalu berpegangan lengan suaminya itu mampu juga berlari demikian cepatnya. Kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak tahu, bahwa keduanya pernah membuat diri mereka hidup seperti seekor kijang. Karena itu, maka kedua orang itu tidak segera berhasil menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun ketika jarak mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putih pun memperingatkan Rara Wulan, “Jangan terlalu cepat. Jika mereka yakin tidak akan dapat mengejar kita, maka mereka akan kembali ke arena pertempuran itu. Mereka justru akan menumpahkan kemarahan dan kekecewaan mereka kepada orang-orang Prancak.” Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Mereka berlari seperti siput. Bukankah mereka berandal-berandal yang bersarang di ujung hutan itu?” “Agaknya mereka-lah yang telah dengan sengaja menimbulkan pertentangan di Kademangan Prancak.” “Ya. Tentu mereka yang telah menghasut orang-orang Babadan itu.” Glagah Putih dan Rara Wulan yang memperlambat larinya, melihat kedua orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat. Namun mereka berdua berniat menyeberangi jembatan. Baru kemudian mereka akan membiarkan kedua orang yang. mengejar mereka itu dapat menyusul. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di jembatan yang membentang di atas susukan. Namun demikian mereka melewati jembatan, maka tiba-tiba saja beberapa orang remaja yang sebelumnya mereka lihat melempari balu anak-anak Karang Lor, telah berdiri di pinggir jalan itu pula. Adalah di luar dugaan bahwa anak-anak remaja itu pun telah melempari Glagah Putih dan Rara Wulan dengan batu. “Kalian tentu petugas sandi dari Prancak!” teriak anak-anak itu. Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa berlari terus untuk menghindari lemparan batu dan anak-anak remaja itu. “Bagaimana kita harus menghadapi mereka?” bertanya Rara Wulan, “Mereka pun mengejar kita beramai-ramai.” “Kita tunggu kedua orang itu. Kita akan berbincang dengan mereka.” “Hanya berbincang?” “Tergantung kepada sikap mereka.” Rara Wulan masih berlari terus. Anak-anak remaja itu pun mengejar mereka sambil melempari batu. Tetapi dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berusaha mencegah mereka. Seorang di antara mereka berteriak, “Kalian jangan melempari batu! Biarlah kami menangkap mereka! Kami akan menggantung mereka di pintu gerbang. Baru kalian boleh melempari mereka dengan batu.” Anak-anak itu pun berhenti. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menyeberangi jembatan itu pun berlari semakin lambat, sehingga akhirnya kedua orang itu pun dapat menyusul mereka. Seorang di antara kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian berteriak, “Berhenti! Berhenti, anak iblis!” Rara Wulan yang masih berlari itu pun berkata, “Aku senang bermain-main dengan mereka. Marilah kita lari lebih cepat lagi, agar mereka mengejar kita semakin jauh.” “Kita akan lebih banyak kehilangan waktu,” sahut Glagah Putih. Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Jika kita berlari lebih cepat lagi dan menjadi lebih jauh dari mereka, maka nafas mereka akan menjadi semakin terengah-engah. Bahkan mungkin sekali mereka akan kehabisan nafas.” “Itu dapat saja terjadi. Tetapi akan memerlukan waktu yang lama.” “Jadi?” “Kita berhenti saja selagi kita masih berada di bulak. Kita paksa saja mereka berhenti berlari dan tidak mengejar kita lagi.” Rara Wulan mengangguk. Sementara itu, dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka. Sekali lagi terdengar mereka berteriak, bahkan kedua-duanya, “Berhenti! Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari tanganku. Semakin cepat semakin baik.” Yang seorang berteriak pula, “Semakin jauh kau berlari, nasibmu akan menjadi semakin buruk!” Yang lain menyambung, “Aku akan memotong kedua kakimu dan kedua tanganmu!” Rara Wulan pun berdesis, “Lucu sekali.” Tetapi Glagah Putih menyahut, “Berhenti. Kita akan berhenti di sini.” “Sebentar lagi, Kakang Biarlah tangan mereka menggapai-gapai.” Glagah Putih terpaksa mengikut saja. Rara Wulan justru berlari lebih cepat, sehingga kedua orang yang sudah dapat menyusul mereka itu pun harus mengerahkan tenaga untuk dapat menangkap kedua orang buruan mereka. Tetapi jarak mereka menjadi semakin jauh lagi. Kedua orang itu mengumpat. Mereka pun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka berlari untuk mengejar kedua orang buruan mereka. Tetapi kedua orang suami istri itu rasa-rasanya berlari semakin cepat. Namun ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak, Rara Wulan pun berkata, “Nah, kita berhenti di simpang empat itu. Ada tempat yang agak luas untuk bermain.” Sebenarnyalah ketika mereka sampai di simpang empat, maka mereka pun berhenti. Ternyata jarak kedua orang yang mengejar mereka sudah menjadi agak jauh lagi. Sejenak kemudian, kedua orang yang mengejar mereka itu pun telah sampai di simpang empat pula. Nafas mereka menjadi terengah-engah, tidak saja lewat hidung mereka, tetapi juga lewat mulut mereka. “Setan alas,” geram seorang di antara mereka di sela-sela tarikan nafasnya, “kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Kalian telah mencoba melarikan diri. Kemudian kalian tidak mau berhenti pada saat kami memerintahkan kalian berhenti.” “Bukankah kami telah berhenti sekarang?” Rara Wulan-lah yang menyahut. “Kenapa baru sekarang kalian berhenti? Bukankah sejak melewati jembatan itu kami sudah memerintahkan kalian berhenti?” “Ya. Dan sekarang kami sudah berhenti.” “Kenapa baru sekarang?” bentak yang seorang. “Apakah kami harus berlari lagi?” bertanya Rara Wulan. “Cukup! Kalau berlari lagi, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi. Kau akan dikejar oleh semua orang penghuni padukuhan Babadan seperti mengejar bajing.” “Kau tahu bahwa kami dapat berlari kencang.” “Kau juga tahu bahwa kami mempunyai kuda yang dapat bertari jauh lebih kencang lagi.” “Kudamu tidak ada di sini sekarang. Selagi kalian mengambil kuda, kami sudah hilang dari pandangan kalian.” “Persetan. Sekarang kalian tidak akan dapat melarikan diri lagi.” Rara Wulan tertawa. Katanya kepada Glagah Putih, “Kakang, bukankah menyenangkan bermain kejar-kejaran di bulak yang luas ini?” “Sudahlah, Rara. Kita harus segera kembali ke arena pertempuran itu. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba ia pun berkata, “Kita berlari lagi ke jembatan.” Glagah Putih menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Kita hormati orang-orang yang telah memburu kita ini.” Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Baik. Aku ingin memukuli mereka sampai pingsan.” “Apa yang kau katakan?” bentak seorang dari mereka yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu. “Sekarang kalian mau apa?” bertanya Rara Wulan. “Kami sudah berhenti menunggu kalian yang berlari seperti siput.” Jantung kedua orang itu berdesir. Sikap Rara Wulan sempat membuat dada mereka berdebaran. Ternyata perempuan itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan agaknya mereka sengaja menunggu agar kedua orang yang mengejarnya itu dapat menyusulnya. Justru karena itu, maka keduanya mulai menjadi lebih berhati-hati menghadapi kedua orang laki-laki dan perempuan itu. “Sekarang, ulurkan tangan kalian. Kami akan mengikat kalian dan membawa kalian ke Babadan. Kalian harus diadili, karena kalian adalah petugas sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak.” “Tidak. Kami bukan orang yang diupah oleh siapa-siapa. Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh siapapun. Kami dapat menentukan tujuan kami sendiri, dan kami dapat melakukan apa yang ingin kami lakukan, asal tidak merugikan dan mengganggu orang lain,” jawab Glagah Putih. “Kau menganggap bahwa seorang telik sandi tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain?” “Aku tidak mengatakan bahwa telik sandi itu tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain. Yang aku katakan adalah, bahwa kami bukan orang yang diupah untuk memata-matai pihak manapun.” “Bohong. Semuanya menjadi semakin jelas dengan sikap kalian sekarang ini.” “Bagaimana dengan sikap kami sekarang?” “Ternyata kalian memiliki keberanian untuk melawan kami. Jika kalian bukan telik sandi yang serba sedikit berbekal kemampuan olah kanuragan, maka kalian tentu tidak akan berani melawan kami, karena perlawanan kalian akan membuat kalian semakin menderita menjelang saat kematian kalian.” “Kau kira kami akan begitu saja menerima kematian?” “Persetan. Kalian menganggap diri kalian ini siapa, he? Kalian mengira bahwa kalian dapat luput dari kematian karena kalian telah memata-matai kami?” “Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami tahu bahwa kalian bukan orang-orang Babadan. Jika orang-orang Babadan menemukan mayat kalian di sini, maka orang-orang Babadan akan tahu, bahwa kalian sebenarnya bukan apa-apa di dunia olah kanuragan.” “Cukup! Aku akan mengoyakkan mulutmu.” “Aku-lah yang akan melakukannya.” Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, anak-anak remaja yang melempari Glagah Putih dan Rara Wulan telah berlari-lari sampai ke tempat itu pula. Sambil berteriak teriak mereka pun mendekati kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu. “Tangkap mereka, Paman. Serahkan kepada kami!” teriak seorang di antara mereka. Seorang di antara kedua orang itu pun berkata dengan serta-merta, “Mundur! Jangan terlalu dekat. Nanti kalian dapat menjadi korban.” Anak-anak itu pun kemudian bergeser mundur. Sementara Rara Wulan pun bertanya, “Apakah kalian akan ikut bermain? Jamuran atau cublak-cublak suweng?” “Permainan anak-anak perempuan,” sahut mereka. “Bukankah aku juga perempuan?” “Tetapi kami bukan perempuan!” teriak seorang diantara mereka. Rara Wulan tertawa. Katanya, “Baik. Jika demikian, lihat saja, kami akan berkelahi. Bukankah berkelahi itu mainan laki-laki?” Anak-anak itu terdiam. “Bersiaplah,” berkata salah seorang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan, “kami benar-benar akan membunuh kalian.” Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanya pun segera mengambil jarak. Sementara itu Rara Wulan tidak hanya menyingsingkan kain panjangnya sampai ke bawah lutut. Tetapi diangkatnya kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya. Kedua orang yang mengejarnya itu pun menjadi semakin menyadari, dengan siapa mereka berhadapan. “Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan.” Demikianlah, maka kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah menempatkan dirinya. Seorang akan bertempur melawan Glagah Putih, yang seorang lagi akan menghadapi Rara Wulan. Meskipun keduanya menyadari bahwa kedua orang itu tentu memiliki bekal ilmu, namun mereka masih saja menganggap diri mereka memiliki kelebihan serta pengalaman. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun mulai menyerang. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap pula untuk menghadapinya. Sementara itu, Rara Wulan yang ingin bermain kejar-kejaran itu tidak berminat untuk bertempur berlama-lama. Seperti Glagah Putih, ia pun teringat kepada orang-orang Prancak yang bertempur di seberang jembatan. Apakah mereka mampu mempertahankan diri atau tidak. Karena itu, maka Rara Wulan itu pun segera meningkatkan kemampuannya, sehingga dengan cepat ia telah mendesak lawannya. Glagah Putih pun tidak ingin membuang banyak waktu. Sehingga Glagah Putih pun berusaha untuk menghentikan perlawanan orang yang memburunya itu dengan cepat. Sementara itu, di seberang jembatan, orang-orang Prancak masih bertempur melawan dua orang berkuda itu dengan sengitnya. Namun, bahwa lawan mereka telah berkurang dengan dua orang, agaknya telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengimbanginya. Orang-orang Prancak itu telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa menjadi gentar, meskipun kedua lawan mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Bahwa mereka berjumlah sembilan orang, telah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengalahkan kedua orang yang mengaku Orang Babadan itu. Sebenarnyalah, betapapun kedua orang Babadan itu mengerahkan kemampuan mereka, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melawan sembilan orang Prancak. Ternyata bahwa orang-orang Prancak itu bukannya tidak berilmu sama sekali. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi kedua orang Babadan itu. Karena itulah, maka kedua orang Babadan itu pun harus melihat kenyataan itu. Jika mereka memaksa diri untuk bertempur terus, maka ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan lagi, sehingga mereka akan dapat ditangkap dan menjadi tawanan di Prancak, atau bahkan di padukuhan Wijil. Dengan demikian, maka nasib mereka pun akan menjadi sangat buruk, karena mereka akan menjadi pengewan-ewan di Kademangan Prancak. Karena itu, maka kedua orang itu pun harus mengambil sikap dengan cepat. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu pun segera memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan arena pertempuran. Karena itu, ketika terbuka kesempatan bagi mereka, maka keduanya pun segera berlari ke kuda mereka yang tertambat di pinggir jalan. Dengan cepat mereka menarik kendali yang disangkutkan pada sebatang pohon di pinggir jalan. Dengan cepat pula mereka pun berloncatan ke punggung kuda mereka. Sejenak kemudian, kedua ekor kuda dengan dua orang penunggangnya itu pun segera melarikan diri meninggalkan arena pertempuran, serta meninggalkan dua ekor kuda milik kedua orang yang telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa saat kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu. Dengan demikian, maka orang-orang Prancak yang berusaha mengejar mereka telah terhenti. Mereka tidak berani menyeberangi jembatan itu, karena jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka hal itu akan dianggap sebagai salah mereka sendiri. Dalam pada itu. kedua orang berkuda itu pun telah melecut kuda mereka agar berlari semakin kencang. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendesak lawan-lawan mereka. Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu mengalami kesulitan untuk melindungi diri mereka masing-masing. Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang datang beruntun dengan kecepatan yang tinggi, telah membuat keduanya jatuh bangun. Sekali-sekali mereka terlempar karena serangan lawan-lawan mereka. Tetapi dengan cepat mereka pun segera bangkit berdiri untuk meneruskan perlawanan. Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka kedua orang itu pun segera mulai berpengharapan. Mereka mengira bahwa kedua kawan telah berhasil menyelesaikan perkelahian mereka melawan orang-orang Prancak, sehingga mereka datang untuk menyusul dan membantu mereka. Karena itu, maka kedua orang itu pun segera berloncatan untuk mengambil jarak. Ketika keduanya berpaling, maka jantung mereka pun menjadi berdebaran. Mereka tidak melihat keduanya membawa kuda-kuda mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak segera memburu lawan-lawan mereka. Keduanya pun sempat memperhatikan kedua orang yang mengaku orang-orang Babadan itu. Bahkan seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya di Babadan. Kedua penunggang kuda itu pun segera melihat kedua kawan mereka yang bertempur melawan kedua orang yang melarikan diri. Keduanya pun melihat bahwa kedua orang kawannya itu telah berloncatan mengambil jarak. “Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Jagabaya. “Nampaknya kedua orang tawanan kita itu mencoba melawan,” sahut kawannya. “Anak-anak itu?” “Mereka menonton saja.” Sejenak kemudian, keduanya pun telah berloncatan dari punggung kuda. Tiba-tiba saja anak-anak remaja yang menyaksikan perkelahian itu bersorak. Kedatangan kedua orang itu akan membantu kedua kawannya yang segera terdesak oleh dua orang yang dituduh telik sandi dari Prancak itu. Demikian keduanya menyangkutkan kendali kuda mereka di sebatang pohon, maka seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang terjadi?” “Kedua orang ini mencoba melawan,” sahut salah seorang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih. “Itu lebih baik. Kita akan membunuhnya sekarang.” “Serahkan kepada kami, Paman!” teriak anak-anak itu. Kedua orang berkuda itu memandangi mereka sambil tersenyum. Seorang di antara mereka berkata, “Baik. Aku akan mengikat mereka dan menyerahkan mereka kepada kalian.” “Terima kasih, Paman, terima kasih. Kami akan mendapat mainan yang menyenangkan.” Adalah di luar dugaan bahwa Glagah Putih pun telah tertawa pula. “Kenapa kau tertawa?” bertanya Ki Jagabaya. “Itukah yang kalian ajarkan kepada anak-anak kalian? Apa yang kalian harapkan dari anak-anak kalian di masa depan? Apakah kalian berharap bahwa anak-anak kalian akan menjadi sekelompok orang yang membenci sesama? Sekelompok orang yang menjadi gembira melihat penderitaan orang lain?” Dahi Ki Jagabaya itu pun nampak berkerut. Namun kemudian ia pun berkata, “Anak-anak kami bukan anak-anak yang cengeng. Mereka terlatih untuk bertindak tegas terhadap orang-orang jahat seperti kalian. Kalian yang makan upah untuk menjadi telik sandi, mengamati dan kemudian memberikan laporan tentang kelemahan-kelemahan sasarannya. Bukankah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang sangat nista?” “Apakah kau sedang bermimpi?” bertanya Glagah Putih, “Dari mana kau mendapat alasan untuk menuduh kami menjadi telik sandi, hanya karena kami berjalan melewati padukuhanmu? Apakah setiap orang lain yang melewati padukuhan Babadan dapat dituduh menjadi telik sandi? Jika benar sebagaimana kau katakan bahwa kau telah menghukum mati beberapa orang yang kau tuduh sebagai telik sandi, maka kau benar-benar seorang yang sangat jahat.” “Persetan,” geram orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu. Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawannya. Demikian pula Rara Wulan. Namun kawan Ki Jagabaya itu sendiri-lah yang bertanya, “Apakah Ki Jagabaya sudah menyelesaikan orang-orang Prancak itu?” “Sudah,” jawab Ki Jagabaya. “Bagus. Sekarang kita selesaikan dua ekor cecurut ini.” “Kita sudah berjanji untuk menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian menyerahkannya kepada anak-anak itu.” “Kita akan menyeretnya ke padukuhan.” “Biarlah anak-anak itulah yang melakukannya. Menyeret dua onggok slangkrah yang terikat. Memang sepantasnyalah keduanya disurukkan ke dalam bendungan, untuk dijadikan tumbal agar bendungan itu tidak segera rusak.” Anak-anak itu tiba-tiba bersorak, “Biarlah kami yang menyeret keduanya ke bendungan, Paman. Biarlah kami yang menceburkannya ke dalam air.” Tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, “Alangkah senangnya mereka mendapat mainan dengan mengorbankan jiwa sesama. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana mereka menjadi sangat gembira melihat penderitaan sesamanya.” Tetapi Ki Jagabaya di Babadan itu menyahut, “Ternyata kalian sudah menjadi ketakutan. Tetapi nasib kalian memang sangat buruk. Kalian akan menjadi pengewan-ewan di sini. Bukan hanya anak-anak. Tetapi seisi padukuhan Babadan akan sangat gembira, karena kami sudah berhasil menangkap sepasang telik sandi.” “Kau pantas mati,” geram Rara Wulan. Melihat kesungguhan di wajah Rara Wulan, orang yang menyebut dirinya Jagabaya di Babadan itu tidak dapat mengabaikannya. Tetapi ia yakin bahwa berempat mereka akan dapat menangkap dan benar-benar mengikat keduanya, untuk mereka serahkan kepada anak-anak remaja yang sedang menonton pertempuran itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bergeser mengambil jarak di antara mereka. Keduanya telah siap untuk bertempur masing-masing melawan dua orang di antara mereka. Gejolak di dada Rara Wulan pun terasa menjadi semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka Rara Wulan-lah yang kemudian justru meloncat mulai menyerang. Namun lawan-lawannya pun telah bersiap pula, sehingga sejenak kemudian maka pertempuran pun telah berkobar kembali. Glagah Putih dan Rara Wulan masing-masing harus bertempur menghadapi dua orang lawan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menganggap orang orang Babadan itu sudah bertindak melampaui batas, maka keduanya pun segera meningkatkan kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang lawan-lawan mereka. Serangan-serangan itu datang demikian cepatnya sehingga mengejutkan lawan-lawan mereka. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membuat penilaian atas kemampuan suami istri yang telah mereka tuduh menjadi telik sandi itu. Pertempuran pun dengan cepatnya meningkat semakin sengit. Ki Jagabaya yang menempatkan dirinya bersama seorang kawannya melawan Glagah Putih, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, maka Jagabaya Babadan itu sudah terlempar dari arena. Kaki Glagah Putih yang terjulur lurus menyamping telah mengenai dadanya. Dengan tangkasnya Jagabaya Babadan itu bangkit. Namun terasa dadanya menjadi sesak. Tulang-tulang iganya menjadi nyeri. Dalam pada itu, anak-anak remaja yang menonton pertempuran itu masih saja bersorak-sorak. Dengan lantang mereka berteriak, “Cepat, Paman! Tangkap mereka! Ikat dan serahkan kepada kami.” Yang lain pun berteriak pula, “Biar aku seret perempuan itu ke tepian, Paman! Biarlah kami memandikannya sebelum kami surukkan perempuan itu ke bendungan.” Suara anak-anak remaja yang riuh itu telah membuat jantung Rara Wulan semakin bergejolak. Meskipun ia harus bertempur menghadapi dua orang lawan, namun Rara Wulan sempat juga menjadi cemas akan watak dan tingkah laku anak-anak remaja itu kelak, jika mereka menjadi semakin besar dan menjadi dewasa. “Mereka akan menjadi apa?” pertanyaan itu sempat mengganggu perasaan Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu terkejut. Bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang buruk, Rara Wulan menghadapi kenyataan. Ia merasakan punggungnya menjadi sakit. Bahkan hampir saja Rara Wulan itu jatuh terjerembab. Seorang di antara kedua lawannya yang menyerangnya dari belakang berhasil mengenai punggung Rara Wulan dengan serangan kakinya, sehingga Rara Wulan itu terdorong beberapa langkah. Dengan susah payah Rara Wulan berusaha mempertahankan keseimbangannya. Tetapi tiba-tiba saja lawannya yang lain pun telah menyerangnya pula. Sambil meloncat orang itu memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya ke arah kening. Rara Wulan yang masih dalam keadaan goyah itu justru menjatuhkan dirinya. Berguling beberapa kali, kemudian melenting berdiri. Ketika kedua lawannya itu menyerang kembali, maka Rara Wulan pun sudah siap menghadapi mereka. Pertempuran pun kemudian berlangsung pula dengan sengitnya. Rara Wulan tidak mau lagi kehilangan pemusatan perhatiannya terhadap lawannya, karena sikap anak-anak remaja Babadan itu. Ketika serangan lawannya mengenai punggung Rara Wulan, Glagah Putih merasa cemas pula. Menurut penglihatannya, serangan itu tidak datang terlalu cepat dan tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia melihat bahwa serangan itu mampu mengenai punggung Rara Wulan. Namun Glagah Putih tidak tahu, bahwa perhatian Rara Wulan sebagian tertuju kepada sikap anak-anak remaja Babadan yang telah membuatnya menjadi cemas. Tetapi sakit di punggungnya yang kemudian dapat teratasi dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi itu, telah membuat Rara Wulan mengambil keputusan untuk segera menghentikan perlawanan kedua orang Babadan itu. Sejenak kemudian, maka Rara Wulan pun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan tangkasnya Rara Wulan berloncatan, sehingga membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Serangan-serangan Rara Wulan pun menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka. Bergantian mereka terlempar dari gelanggang dan jatuh berguling di tanah. Seorang di antara mereka yang terlempar oleh serangan kaki Rara Wulan, justru telah menimpa sebatang pohon di pinggir jalan. Sambil menyeringai kesakitan, orang itu pun mengumpat kasar. Bahkan kemudian orang itu telah mencabut pedangnya sambil berteriak, “Aku bunuh kau, perempuan binal.” Rara Wulan tertegun. Bahkan lawannya yang seorang lagi juga menarik senjatanya pula. Namun anak-anak remaja yang menonton perkelahian itulah yang berteriak-teriak, “Jangan dibunuh, Paman! Serahkan mereka kepada kami. Biarlah kami mendapatkan permainan yang menyenangkan.” Tetapi kedua orang lawan Rara Wulan itu tidak menghiraukan. Mereka pun kemudian mendekati Rara Wulan setapak demi setapak sambil mengacungkan senjata mereka. “Kau akan menyesali nasib burukmu, perempuan liar,” geram seorang di antara mereka. Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi dengan demikian, maka ia pun akan segera mendapatkan jalan untuk menghentikan perlawanan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu. Sejenak kemudian, Rara Wulan pun telah memutar selendangnya. “Apa yang kau lakukan, perempuan binal?” bertanya seorang di antara kedua orang lawannya itu dengan lantang. “Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi,” jawab Rara Wulan. “Iblis betina. Bersiaplah untuk mati!” seorang di antara kedua lawannya itu berteriak. Hampir berbareng kedua lawannya itu meloncat menyerang. Namun dengan tangkas Rara Wulan menghindar. Sementara itu, selendangnya pun telah terjulur lurus mematuk dada seorang lawannya. Sentuhan itu masih belum dilambari kemampuan Rara Wulan yang sebenarnya. Tetapi orang yang dadanya tersentuh ujung selendang Rara Wulan itu pun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah. Terdengar orang itu mengaduh. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit. Tetapi ia telah memaksa diri untuk memasuki arena pertempuran itu lagi. Sementara itu, kedua lawan Glagah Putih pun telah bersenjata pula. Untuk mengimbangi keduanya, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi. Glagah Putih tidak merasa perlu untuk mengurai ikat pinggangnya. Namun dengan kecepatan geraknya, dilambari kemampuannya memperingan tubuhnya, ia mampu membuat kedua lawannya kebingungan. Pada saat-saat lawannya kehilangan Glagah Putih yang berloncatan dengan ringannya, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah, maka serangan Glagah Putih telah melemparkan mereka sehingga terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kedua orang lawan Glagah Putih itu pun segera terlibat dalam kesulitan. Beberapa kali orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu harus berdesah kesakitan. Beberapa kali ia menyeringai menahan sakit yang menusuk sampai ke tulang. Tubuhnya yang terbanting-banting dan beberapa kali membentur pepohonan, telah tergores luka dimana-mana. Luka oleh ujung bebatuan yang tajam atau oleh kerasnya batang pepohonan. Bahkan dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah, karena beberapa giginya telah patah. Kawan Ki Jagabaya itu pun merasakan kepalanya sudah menjadi sangat pening. Matanya semakin lama menjadi semakin kabur. Lawannya yang berloncatan melingkar-lingkar itu kadang-kadang tidak dapat dilihatnya lagi. Namun tiba-tiba saja serangannya telah melemparkannya. Ketika keningnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan, maka di keningnya itu telah tergores luka. Darah mengalir semakin lama semakin deras. Dalam pada itu, kedua orang lawan Rara Wulan pun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ujung selendang Rara Wulan menghantam dada seorang di antara mereka, maka orang itu pun telah terlempar dengan kerasnya. Rara Wulan agaknya sudah tidak telaten lagi, sehingga ia pun sudah meningkatkan ilmunya pula. Dengan kerasnya tubuh orang itu terlempar melampaui tanggul parit, hingga terjatuh di kotak sawah yang sedang digenangi air. Orang itu pun menjadi bagaikan seekor kerbau yang berada di dalam kubangan. Bahkan beberapa teguk air berlumpur telah masuk lewat tenggorokannya pula. Seorang lawan Rara Wulan yang lain pun menjadi bimbang. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan perempuan itu. Apalagi pada saat kawannya berkutat untuk bangkit dari kubangan lumpur. Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha untuk meloncat menjauh, maka selendang Rara Wulan itu telah terjulur melingkar menjerat kedua kakinya. Demikian selendang itu dihentakkan, maka orang itu pun telah terpelanting terbanting jatuh di tanah. Sekali lagi Rara Wulan menghentakkannya. Orang yang terpelanting itu bagaikan diseret beberapa langkah, sebelum Rara Wulan menghentakkannya sekali lagi. Demikian lilitan ujung selendang itu terurai, maka orang itu pun tidak lagi dapat bangkit dengan cepat. Punggungnya terasa bagaikan menjadi patah. Dua orang lawan Rara Wulan sudah menjadi tidak berdaya lagi. Senjata mereka seakan-akan tidak ada gunanya sama sekali. Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang lawannya berganti-ganti. Seorang terbaring di jalan bulak, seorang sudah berhasil bangkit berdiri dalam lumpur yang pekat, sehingga ujudnya bagaikan sebuah patung yang terbuat dari tanah liat. “Sekarang, apa lagi yang akan kalian lakukan?” bertanya Rara Wulan, “Apakah kalian masih ingin menangkap kami karena kami kalian anggap telik sandi?” bersambung
ApiDi Bukit Menoreh Seri 2 Buku 163. Buku 163. “Kami menyadari arti perjuangan Raden Sutawijaya,“ berkata Ki Gede kemudian. “Kami mengharap kehadiran Ki Gede dan Ki Waskita, malam sebelum hari yang ditentukan itu datang,“ berkata senapati itu, “Senapati ing Ngalaga akan membicarakan segala sesuatunya tentang perjuangan yang nampaknya
Cerbung ini berkonsenterasi pada tokoh penakut bernama Agung Sedayu, seorang adik senapati Pajang. Seiring perjalanan waktu, hilanglah sifat penakut dalam diri Sedayu. Bahkan dia menjadi satu nama yang diperhitungkan dalam dunia olah kanuragan Jawa. Meski Agung Sedayu menjadi seorang yang sakti namun dia tidak menjadi congkak dan mendewakan diri. Sebaliknya seiring kemampuan yang meningkat juga meningkatlah budi pekerti, semakin jadi manusia. Mengambil latar waktu dari masa awal berdirinya Pajang sampai masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati di Mataram, cerbung ini menyajikan sejarah dengan cara bertutur yang baik. Seakan penulis ingin membeberkan analisanya terhadap sejarah Indonesia dan Tanah Jawa khususnya yang pelik dan penuh pertentangan antar saudara sendiri. Cerbung ini akan menunjukkan pada anda apa arti kesabaran, hati yang bersih, terutama bagaimana dendam akan menghancurkan siapa yang bersinggungan dengannya. Cerbung ini tidak hanya berkisah tentang kepahlawanan orang sakti, tapi lebih terutama bagaimana orang sakti itu mengabdi tanpa kehilangan kemanusiaannya. Selamat membaca. Mintardja Api Di Bukit Menoreh Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 001-100 Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 101-200Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 201-300Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 301-396
ceritaapi dibukit menoreh, cerbung api dibukit menoreh, cersil api dibukit menoreh, api di bukit menoreh full pdf, api di bukit menoreh pdf free download, api dibukit menoreh karya sh mintardja, komik api dibukit menoreh, kisah api dibukit menoreh, api dibukit menoreh lengkap, api di bukit menoreh lengkap pdf, serial api di bukit menoreh
NOVEL- API DIBUKIT MENOREH II VOL 60 di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
8XTE.
  • 6eglwiujq1.pages.dev/498
  • 6eglwiujq1.pages.dev/510
  • 6eglwiujq1.pages.dev/598
  • 6eglwiujq1.pages.dev/475
  • 6eglwiujq1.pages.dev/67
  • 6eglwiujq1.pages.dev/25
  • 6eglwiujq1.pages.dev/69
  • 6eglwiujq1.pages.dev/41
  • api dibukit menoreh 360